Pemicu Sumbu Kejengahan

3.7K 283 35
                                    

           

Permasalahan: Perbedaan jumlah kekuatan argumen yang berada dalam suatu lingkup masalah antara Mama dan Aria.

Rumusan masalah: Masih mencari solusinya.


Lagi-lagi aku menghela napas panjang lalu memejamkan mata sebentar, kalau terlalu lama bisa jadi ketiduran. Apalagi mengingat-ingat bagaimana cara memainkan alat musik yang sedang kupegang, cello. Tiap latihan, sebisa mungkin suaranya kumainkan dengan sangat pelan, takut-takut Mama akan masuk ke kamar dan malah melihatku bermain alat musik. Sebagian kebanyakan orang tua, memang akan berpikir segala hal yang berkaitan seni itu nggak akan menjamin masa depan yang bagus. Dan Mama salah satunya. Padahal aku bisa menyukai seni, bisa jadi karena keturunan gen dari Mama.

Mama berceloteh panjang lebar mengenai seni itu hanyalah hobi. Aku ingat sekali tiap katanya jika Mama sedang berceramah, "Lihat Mama, gara-gara ngelawan orang tua Mama karena maksain buat jadi penyanyi, hidup Mama sempat nggak sukses. Sekarang, kerjaan Mama bukan penyanyi dan Mama bisa menghidupi keluarga. Kamu juga harus mencontoh pada kakakmu itu, otak encer bakal bisa ditaro kerjaan yang menjamin masa depan."

Biasanya aku hanya membalas ocehan-ocehan Mama dengan anggukan atau mengatakan "iya" dengan pelan. Kalau ngajak Mama berargumen, percaya deh, nggak akan selesai sampai aku lulus SMA tiga kali. Aku pun mengambil sisi positifnya aja, Mama mengkhawatirkan kehidupanku nantinya.

Mama itu manusia pintar. Serius. Kalau kamu mengajaknya mengobrol tentang hal apa pun, pasti akan nyambung. Diajak ngobrol tentang sejarah sebelum Perang Dunia? Bisa. Diajak ngobrol tentang otomotif? Bisa. Diajak ngobrol tentang brand merk terkenal di dunia? Apalagi bahasan ini, jago juga. Nggak tau kenapa untuk masalah yang seni-seni ini, Mama tidak begitu terbuka.

Sebenarnya juga, latihan memainkan cello ini juga karena temen deket yang meminta. Rasanya nggak tega aja gitu ngelihat mukanya mohon-mohon. Lagi pula untuk acara sekolah sendiri, nggak ada salahnya ikut mengisi acara. Acara terakhir di sekolah juga. Yah, walaupun sebenarnya aku nggak bisa-bisa amat memainkan alat musik yang satu ini. Tapi nggak ada salahnya mencoba. Walaupun—lagi—aku seringkali menghela napas panjang supaya nggak berteriak frustasi karena betapa susahnya memainkan alat ini. Kalau ditanya, kenapa aku nggak memainkan alat musik yang lain, aku juga nggak tau. Aku hanya disuruh memainkan cello, udah informasinya seperti itu. Anehnya, aku juga gak bertanya apa-apa lagi, nurut-nurut aja.

Mungkin karena anak Mama memang aneh semua. Pengaruh gen jangan-jangan?

Merasa sudah pasrah dengan latihan cello ini. Aku memutuskan untuk berjalan ke dapur untuk membuat teh. Beruntungnya, Mama selalu mendapat oleh-oleh dari temannya dengan satu kardus beraneka macam jenis teh. Aku menyukai jenis teh apa pun asalkan manis. Aku agak kesal dengan pacar kembaranku yang namanya aneh itu pernah diberi teh oleh Mama tapi tidak dihabiskan. Tapi, ya udah, bukan aku yang membelinya juga. Dan nggak mungkin juga aku mencak-mencak soal minuman pacar kembaranku yang masih tersisa itu.

Saat membuka pintu penyimpanan makanan, tebakanku benar. Kotak-kotak teh tersusun rapi di dalam. Aku mengambil salah satu lalu menyeduhnya dan kembali masuk ke kamar. Mama selalu mengomel tentang aku yang doyan nggak keluar dari kamar. Dia akan mengomel seperti ini, "Kamu kayak orang lagi bunting aja. Di kamar doang. Sekali-kali keluar kamar, nanti lama-lama kamu lupa cara buka pintu itu gimana saking lamanya di kamar."

Kadang ingin membalas ucapan Mama dengan sarkastik juga tapi yang seperti kubilang, tidak akan pernah selesai berargumen dengan Mama. Jadi hanya kubalas dengan helaan napas pendek dilanjuti, "Iya, Maaa."

Walaupun aku sudah mengangguk dan mengatakan "iya" pada Mama. Mama nggak akan menyelesaikan omelannya begitu aja. Pasti masih ada lanjutannya. "Kamu, tuh, kalau dikasih tau jangan iya-iya aja. Lakuin dong! Capek deh, Mama ngasih taunya sampe berbusa mulutnya." Begitu lanjutan Mama. Berlebihan banget, padahal aku nggak melihat ada busa di mulutnya. Malah aku takut kalau rahang Mama akan kehabisan oli, tau-tau copot repot, kan. Astaga, bukannya mendoakan. Cuma ngomong doang.

Diferensiasi [slow-update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang