Nostalgia Jangka Pendek

1.1K 174 29
                                    

           

Permasalahan: Perilaku yang tidak terduga menyebabkan perubahan kecil pada suatu lingkup populasi di sekitar Aria.

Rumusan masalah: Hanya bisa pasrah dan menjalani kehidupan yang sedang berlangsung.


Mama mengenakan sepatu ber-hak tinggi sambil terburu-buru. Kadang ia bolak-balik mengambil barang yang terlupa. Aku yang awalnya menonton televisi—karena sedang libur tenang sebelum ujian akhir di kelas tiga SMA—sekarang malah menonton Mama yang sedang repot sendiri. Kami belum berbicara lagi sejak Papa masuk ke dalam wilayah rumah ini. Ya sudah, lagi pula, aku nggak ada hal yang mau diomongin juga dengan Mama. Biasanya dia yang lebih dulu berbicara.

Ia menatap cermin beberapa saat sebelum berjalan menuju pintu rumah. "Mama ada urusan kerjaan. Besok akan pulang. Mama simpan uang di tempat biasa. Belajar yang bener, Dek, udah mau ujian. Hati-hati di rumah," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan rumah ini.

Mama adalah seorang akuntan. Nggak heran dia bisa sesukses sekarang. Walaupun memang dulunya hanya akuntan biasa dan menjadi luar biasa karena bekerja sama dengan adiknya Papa untuk membangun sebuah perusahaan. Selain perfeksionis, Mama adalah orang yang profesional dalam pekerjaannya, dia bahkan tetap masih bekerja sama dengan adiknya Papa walaupun terlihat nggak nyaman.

Aku balas berdehem. "Mama juga hati-hati," ujarku lalu mengunci pintu rumah ketika Mama mulai mengemudikan mobilnya dan berjalan menjauh hingga tak telihat dari pandangan. Sunyi, seperti biasa. Ah, tapi lebih nyaman seperti ini dari pada berisik.

Ada kesamaan antara aku dan Mama. Selalu menghindar setelah ada suatu perdebatan atau kejadian yang membuat nggak nyaman di antara kami. Mama tetap orang yang blak-blakan tapi hanya saat amarahnya memuncak. Kalau sedang berada dalam pikiran yang rasional, dia lebih memilih bungkam, nggak berbicara apa pun. Terkadang, aku juga ingin memahami Mama, tapi kalau aku udah memulai berargumen, rasanya malas aja Mama akan mengoceh panjang hingga topiknya menjalar ke mana-mana.

Perlahan aku melangkahkan kaki menuju kamar untuk mengambil perlengkapan melukisku kemudian meletakkannya di teras belakang rumah. Belum lengkap rasanya kalau belum ada secangkir teh. Dengan begitu, aku pun menyeduh teh di dapur lalu membawanya ke teras belakang.

Aku menyukai halaman rumah Mama. Semuanya penuh dengan berbagai macam tanaman. Yang berbunga maupun berbuah. Tapi sebulan lalu, Mama baru aja membabat habis pohon jambunya. Dicolong kalong melulu katanya. Tiap metik (biasanya Mama akan memanjat pohon dan aku yang akan menangkap buah yang dilemparkan Mama), buahnya pasti ada bekas gigitan hewan.

Kadang aku pernah berpikir kalau Mama akan membuka kebun binatang juga. Soalnya, karena banyak jenis tanaman, pasti banyak jenis hewan yang menghuni di sana. Seperti ulat, cacing, kalong, atau jangan-jangan ada ular juga. Bahkan burung hantu pernah singgah di halaman belakang rumah. Aku sempat ingin memeliharanya karena mata burung itu terlihat bulat dan besar seperti boneka. Tapi Mama melarang, katanya nggak baik mengurung binatang.

Dulu, halaman belakang ini sering dipakai untuk kumpul keluarga. Semisal bermain bulu tangkis. Aku dengan Papa bertanding melawan Dee dengan Mama.

"Mama udahan aja!" omelnya kala itu karena terus-terusan kalah. "Kalian mainnya nggak bener. Mukulnya jangan ke sembarang arah dong! Mama, kan, capek harus lari sana-sini. Dee bantuin Mama juga, dari tadi malah bengong."

Papa tertawa menanggapi lalu bertos ria denganku. "Ya udah, Mama sekarang bikinin susu kedelai buat Dek Iya sama Papa aja, ya?" bujukku pada Mama, berusaha untuk meredamkan emosinya yang memuncak.

Kulihat Dee mengernyit jijik saat aku mengucapkan susu kedelai lalu memperagakan seolah-olah dia muntah. "Iyuh... Iyuh... Iyuh..." ujarnya berkali-kali. Heran, kenapa bisa dia nggak menyukai susu terenak yang ada di dunia.

Biasanya, setelah Mama mandi dan membuatkan susu kedelai yang kuminta, kami akan duduk di lantai teras sambil bermain monopoli. Dahi Dee selalu berkerut, membuat taktik agar aku selalu membayar jika lewat rumah-nya.

"Beli aja, Ya. Biasanya sering berhenti di situ, kamu dapet uang banyak nanti," ujar Papa ketika aku sedang memainkan pionku. Beda lagi dengan Mama jika sedang bermain monopoli.

"Ini mainan apa, sih? Kok, Mama masuk penjara mulu? Kapan mainnya dong?" tanyanya beruntun sambil mengerucutkan bibir karena kesal. Dan yang kadang biasanya, Mama akan berakhir menjadi penjaga Bank monopoli.

Selagi memoles warna di atas kanvas, aku kembali teringat pada kejadian malam itu. Malam pertengkaran terakhir (semoga aja untuk yang terakhir kalinya) antara Mama dan Papa. Aku menghela napas kasar lalu melempar kuas ke sembarang arah. Untuk yang pertama kalinya aku nggak nyaman dengan kesendirian.

Biasanya aku akan selalu nyaman dengan kesendirian. Nggak ada yang mengganggu. Rasanya seperti aku hidup dengan imajinasi warna yang kutorehkan di atas kanvas. Kadang musik klasik yang menemani kesunyian.

Aku nggak mengerti kenapa aku tiba-tiba menyukai seni, terlebih dengan melukis (mungkin karena saat itu Papa arsitek, aku jadi tertarik untuk menggambar). Mungkin juga karena semenjak SD, aku lebih menyukai mengamati orang-orang lalu menggambarnya di mana pun.

Dulu aku punya kebiasaan jorok. Ngupil sambil menggambar. Jorok atau aneh, ya?

Tapi aku ngupilnya bermanfaat kok. Karena aku kepingin banget hasil gambarnya dipajang di dinding, ya udah deh, aku tempel aja pakai upil aku. Di sepanjang dinding ruang televisi sampai ke dapur, semakin hari makin banyak hasil gambar yang kutempel dengan upil. Sukur, Mama nggak tau tentang hal itu. Mungkin, dia mengiranya nasi, kali ya? Nasi basi yang berjamur gitu.

Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja kecil lalu menyalakannya. Kalau aku berubah menjadi sedikit lebih seperti Dee, gimana ya? Terlintas aku berpikir ingin mengajak temanku jalan-jalan seperti "teman-teman" remaja biasanya. Tapi, apa nggak terlihat aneh, ya? Tiba-tiba ngajak jalan. Nanti dibilang kerasukan lagi, seperti saat aku bertemu dengan teman-temannya Dee.

Sebenarnya dulu aku punya banyak teman. Saat SD, paling banyak. Mungkin karena memang masih anak-anak, jadi kalau main nggak begitu pilih-pilih. Aku nggak menyalahkan teman-temanku yang sekarang. Mungkin karena aku yang menutup diri.

Aku selalu berpikir, aku takut dengan penilaian orang lain terhadapku. Seperti, aku akan selalu melakukan kesalahan dan mereka akan menganggapku... aneh, mungkin?

Sering kali aku mencari cara bagaimana agar bisa masuk ke dalam lingkup manusia lainnya dan berinteraksi. Aku selalu kelimpungan bagaimana cara memulainya agar mereka nggak berpikir yang aneh-aneh tentangku. Aku juga takut nggak bisa masuk ke dalam pola pikiran mereka dan mereka nggak bisa membaca pola pikirku. Semuanya mendadak rumit, karena aku sendiri yang membuatnya jadi sulit.

Padahal setelah dipikir-pikir lagi, Dee aneh dan semua orang menyukainya. Kalau sedang berpikir tentang Dee, pikiran jadi bercabang tertuju ke Bagas Samudera. Aduh, ini bibir kenapa tiba-tiba senyum-senyum sendiri, ya?

Rasanya aneh. Aku pernah bilang, aku selalu nggak menyukai perasaan aneh. Ingat itu ya. Tapi kali ini, perasaan anehnya berbeda dari yang udah-udah. Mendadak aku kepengin bertemu dengan Edra. Bagaimana cara untuk bertemu, ya?

Lagi-lagi aku tersenyum, sekarang malah ditambah kekehan. Keanehan Dee bisa menular lewat udara hampa kayaknya deh. Semoga orang-orang yang ada di sekeliling Dee dilindungi.


[*][*][*]

a.n: maafin part ini kalo ngebosenin ya. maafin juga kalo pendek, haduuuh. semoga ke depannya lebih seru lagi deh. jangan lupa baca Ekuilibrium-nya wanda-ay oke?

Diferensiasi [slow-update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang