Tarian Bayang-Bayang

468 20 0
                                    

Akhirnya aku memutuskan untuk membuntuti anak laki-laki kurus yang kini berjalan beberapa langkah di depanku. Sepertinya dia tidak curiga meskipun sudah hampir 10 menit aku terus mengikuti ke manapun kakinya melangkah. Beberapa kali aku ikut berhenti saat bocah pengemis itu menadahkan tangan dengan tampang memelas pada orang-orang yang berpapasan dengannya.

Ada yang menarik dari anak laki-laki itu. Kalau bukan karena penasaran, tentu aku sudah berada di rumah dan beristirahat. Aku kembali memperhatikannya, tepatnya bayang-bayangnya. Mereka menari. Mereka? Ya, aku menggunakan kata 'mereka' untuk menyebut bayang-bayang. Dan aku yakin bahwa itu adalah sebuah pertanda.

Aku sedikit terkejut saat anak laki-laki itu tiba-tiba membalikkan badan dan berseru, "Ngikutin aku, ya? Daripada ngikutin, mending ngasih uang. Aku belum makan dari tadi pagi."

Ucapannya itu membuat beberapa orang yang lewat mengarahkan tatapan ke arahku. Aku salah tingkah, "Ga, cuma kebetulan kita satu arah," ujarku mengelak. Bayang-bayang anak itu semakin jelas terlihat. Kali ini lebih lincah menggeliat ke sana ke mari.

"Ada apa? Ada yang aneh?" tanyanya. Mungkin dia menyadari tatapanku yang tak terfokus padanya, tapi pada 'mereka' yang bergerak liar di sekitar dirinya. Dengan cepat aku menggeleng. "TIdak, tidak ada apa-apa," kilahku sambil kembali melangkah, berniat meninggalkan anak laki-laki kurus yang sekarang memandangiku penuh curiga.

"Tunggu di sini," ujarnya sambil berlari meninggalkanku. Beberapa saat aku bingung apakah harus menunggu atau secepatnya kembali ke rumah sebelum hari semakin gelap. Ibuku pasti mengajukan banyak pertanyaan nantinya perihal aku yang telat pulang dari les. Aku hanya berdiri mematung di pinggir jalan sambil menggores-goreskan ujung sepatuku ke atas aspal sampai akhirnya aku sampai pada sebuah kesadaran. Untuk apa aku menunggu seorang bocah pengemis yang bahkan tidak kukenal.

Aku hampir pergi menjauh saat anak laki-laki itu muncul dengan napas terengah-engah. Dia menggenggam erat sebuah tas berwarna merah hati. "Kau melihat bayang-bayang menari di sekitarku, kan?"

Aku terperangah. "Kata kakekku, Itu pertanda bahwa dirimu yang ini," anak laki-laki itu meletakkan telunjuknya ke dadaku sambil menyerahkan tas merah hati yang dibawanya," akan berpisah dengan dirimu yang ini. Mati."

"Dan sekarang aku melihat bayang-bayangmu juga menari," lanjutnya.

Aku masih kurang memahami ucapan anak laki-laki itu sampai kudengar teriakan orang-orang dari ujung jalan meneriaki jambret. Dan bodohnya aku ikut berlari bersama anak-anak laki kurus di depanku itu dan membiarkan bayang-bayangku turut menari.

Foto Orang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang