Part 6: Jatuh

62 6 4
                                    

Rama POV


"Ram! Rama!"

"Ngghh," gua membuka mata perlahan dan melihat Andra sudah berdiri di samping meja. Seenaknya aja ganggu tidur gua. Dia gatau apa kalau tidur di jam kosong itu surganya para pelajar?

"Ngapain lu tidur di sekolah? Bang–"

"Bawel lu, knalpot racing!" Gua segera bangun dan memotong omongan Andra sebelum dia mulai berkhotbah. Jam dinding kelas menunjuk angka 2, jamnya pulang sekolah. Tanda adanya sedikit rasa merdeka buat bebas melihat dia. Nadira.

"Ram, temenin gua ke Andri dulu, yuk!" Andra sedikit memaksa.

"Emang adek lu kemana?"

"Dia ke kelasnya Kak Monica."

"Ohhh, kakak kelas yang lu suk– bbffftttt," Andra langsung menutup mulut gua.

"Blahhh! Tangan lu asin, njir!" Protes gua dengan setengah membuang tangan si kambing.

"Ah, jangan berisik! Ntar fans gua pada denger gimana?!" Ketusnya dengan setengah berbisik.

"Gaya lu sok mikirin fans. Inget, sebelum lu kayak sekarang, dulu lu kambing cupu," jawab gua sekenanya. Memang bener sih aslinya dia cupu.

Akhirnya kambing yang satu ini sukses mencuri waktu gua untuk mencari Andri. Tapi sebelum sampai ke koridor kelas 12, kami sudah melihat Andri di lapangan bersama Kak Monica dan ... hmm, Robot? Hahaha.

"Oi, kambing dua! Dipanggil kambing satu, noh!" Gua berteriak sambil menunjuk Andra.

"Bentar, cuy, lagi bisnis," jawab Andri. Baru saja kami akan menghampiri mereka, Andri langsung bergegas menyusul kemari. Dan kesempatan Andra pun hilang. Puff!

"Ih, si b*go! Ngapain lu yang nyamperin?"

"Lah, emang kenapa, Ndra?"

"Abang lu kan mau mejeng di depan Kak Monica. Hahaha," tambah gua sambil tertawa ngakak.

"Yaelah, Ndra. Gua kan sekarang anak buah dia. Tenang aja, gua bantuin ntar," jawab Andri sok tahu.

"TAPI LO GAK NGERTI GINIAN, KAMBING!" Teriak gua dan Andra kompak.

"Lah, lo aja homo, Ram!" Wtf.

"Sesuka hati lo aja dah, Ndri. Gua mau ngambil motor dulu."

"Hati-hati, ya, sayaaang!" Andri meledek gua. Keliatan kan siapa yang homo sekarang?

Ucapan Andri masih membuat gua geram, membuat gua bengong di motor sepanjang jalan. Sampai di depan gang sekolah gua baru sadar karena melihat pemandangan indah. Seorang gadis berkuncir dua dengan poni sedikit di depan, mata segaris yang ikut senyum kalau dia tersenyum, juga pipinya yang chubby mirip marshmellow–rasanya ingin gua gigit.

"Nadira?" Sapa gua sambil memberhentikan motor.

"Eh, Rama?"

"Lu ngapain disini?"

"Nunggu angkot. Daritadi susah banget. Sekalinya ada malah penuh," jawabnya dengan raut wajah yang cemberut, semakin membuatnya imut.

"Yaudah bareng gua aja. Rumah kita kan searah!"

"Oh ya?"

"Iya. Ayo, bareng aja!"

"Beneran, nih?"

"Bener. At your service, my Lady." Bak seorang gentleman, gua buka satu per satu footstep motor dan mempersilakan Nadira naik. Gua menikmati setiap detik di perjalanan ini. Bicara ini itu, tertawa sepuasnya. Dan itu bersama orang yang paling berharga dalam hidup gua saat ini.

ToscaWhere stories live. Discover now