PRANG!
Pecahan beling berserakan setelah guci mewah itu menghantam lantai marmer yang dingin. Pelaku yang baru saja menghancurkan guci itu pun masih sama dengan posisi awal.
Matanya berkilat tajam dengan napas menderu. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
"Siapa yang bertanggung jawab dengan masalah ini?" ujarnya dengan suara bariton andalannya.
Beberapa pengawal yang berada di ruangan itu semakin merasa gemetar ketika mendengar suara tuan mereka. Hening, sama sekali tidak ada yang bersuara. Mereka takut salah bicara yang nantinya bisa saja membuat nyawa mereka melayang.
"Tidak mau menjawab, hm?" gertak tuan mereka.
"I-itu, Tuan—"
DOR!
Belum sempat salah satu pengawal itu berbicara, suara pistol yang disusul bau anyir darah menghentikan ucapannya. Para pengawal itu semakin menundukkan kepala saat tuan mereka mendekat ke arah mayat yang baru saja ditembak olehnya.
Dia duduk tepat di samping kepala pengawal malang itu. Diambilnya pisau kecil yang selama ini menjadi sahabat dekatnya. Perlahan, tangan kekarnya mulai bermain dengan pisau kesayangannya.
Pengawal yang tersisa pun meringis ngeri melihat 'permainan' tuan mereka.
Setelah puas bermain-main dengan tubuh pengawal malang itu, tuan mereka kembali berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya. Dipandanginya pisaunya yang kini dilumuri darah, lalu dijilatnya darah tersebut. Sungguh siapa pun yang melihatnya pasti akan merasa ngeri.
"Bukankah sudah kubilang bahwa aku tidak menerima pengkhiat?" ucapnya dengan tekanan di setiap katanya.
Di tempat lain, seorang gadis cantik tengah menikmati suasana taman kota yang tidak begitu ramai. Matanya menyipit ketika senyumnya mengembang dengan indahnya.
Gadis dengan kerudung pasmina itu semakin mengembangkan senyumnya ketika melihat beberapa anak kecil tengah berlarian dengan riangnya.
"Lucu ya, Fat."
Gadis yang dipanggil Fat itu pun menoleh saat mendengar suara dari sebelahnya.
"Tama?"
Tama pun hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian pria manis itu duduk di bangku sebelah Fatma dengan memberikan jarak.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Fatma setelah kembali memusatkan pandangannya pada gerombolan anak-anak.
"Aku hanya ingin menemuimu," jawab Tama masih dengan senyum maniasnya, "aku datang ke rumahmu tadi, tapi Ibumu malah mengatakan kalau kamu ada di sini," lanjutnya.
Fatma mengernyitakan dahinya. "Untuk apa?"
Tama pun memandang Fatma dengan tatapan sendunya. Dia selalu tidak suka setiap mendengar suara dingin Fatma, yang sialnya hanya Fatma perdengarkan kepada dirinya.
"Fatma, bisakah kita lupakan semuanya?"
Fatma tersenyum kecil. "Aku memang sudah memaafkanmu, Tama. Namun, tidak dengan melupakan."
"Tapi, Fat—"
"Sudahlah, Tama. Aku mohon hargai keputusanku. Jangan pernah datang lagi hanya untuk memperbaiki sesuatu yang sebenarnya memang sudah tidak layak untuk diperbaiki. Aku sudah memaafkanmu, Tama. Namun, bukan berarti aku bisa menerimamu kembali."
"Tapi itu sudah dua tahun yang lalu, Fat!"
"Justru karena itu. Aku ingin belajar melupakan semuanya. Aku ingin berubah, Tama. Kemarin itu adalah kesalahan dan berkatmu aku semakin sadar, bahwa tidak seharusnya kita memiliki hubungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuikhlaskan Kau Bersamanya [COMPLETED]
Spiritual"FATMA, AYO CEPAT LARI!" Perempuan yang dipanggil Fatma itu pun menoleh ke belakang. Matanya terbelalak melihat sekelompok orang yang mengejar mereka semakin mendekat. Dengan susah payah dia terus menambah tempo larinya. "A-aku tidak kuat," ujar Fat...