Mata cantik Fatma mulai mengerjap pelan, lalu disusul terbukanya mata bulat itu. Tubuhnya sedikit menggeliat karena posisi tidurnya yang kurang nyaman. Setelah kesadarannya terkumpul, barulah dia tersentak saat melihat matahari telah meninggi dari balik tirai jendela yang terbuka.
Eh tunggu, terbuka? Siapa yang membukanya? Buru-buru Fatma merapikan kerudungnya yang sudah acak-acakan. Untung saja dia sedang halangan, jadi dia tidak perlu khawatir karena kesiangan untuk salat subuh.
"Tidurnya nyenyak, Sayang?"
Deg!
Mata gadis itu melotot saat mendapati sosok Dewa yang sedang duduk di sofa sambil memegang gelas kopinya.
"Kau ... kenapa kau di sini?" tanya Fatma gugup. Dia semakin merapatkan dirinya pada sandaran sofa sambil menarik selimut yang memang belum dia singkap sebelumnya.
"Hanya melihat calon istriku tidur," jawab Dewa kelewat santai.
"Calon istri?" lirih Fatma yang masih bisa didengar oleh Dewa.
"Ya, minggu depan kita akan menikah."
"Ti-tidak—"
"Kenapa tidak?" ejek Dewa sambil menatap remeh Fatma
"Ka-kau ateis!" balas Fatma.
"Oh iya?"
Fatma mengepalkan tangannya kesal. Apa-apaan pria di depannya ini? Huh, menyebalkan!
"Bersiaplah. Hari ini kita akan bertemu dengan orang tuamu," titah Dewa sebelum melenggang pergi meninggalkan Fatma yang masih diliputi rasa bingung.
Benarkan dia akan menikah?
Tidak mau berlama-lama dengan argumennya, akhirnya Fatma bergegas untuk membersihkan dirinya. Sebelumnya dia memeriksa tas kecil yang selalu dibawanya saat bekerja. Untunglah kemarin dia membawa persediaan 'roti lembut' untuk dipakainya hari ini.
Setelah beberapa menit berkutat dengan ritual mandinya, mendadak Fatma kebingungan. Mau pakai baju apa dia?
Huft, mau tak mau akhirnya Fatma menggunakan kembali baju yang dipakainya tadi. Saat keluar dari kamar mandi, atensinya terhenti pada tumpukan baju di atas ranjang. Dia mendekatinya, lalu membaca notes yang sepertinya memang ditujukan untuknya.
"Pilihlah dan segera bersiap," gumam Fatma sambil membaca notes itu. Dilihatnya beberapa setelan gamis yang ada di tempat tidur. Tidak mau berlama-lama, dia pun memilih salah satu set gamis itu, lalu kembali masuk ke kamar mandi.
Sekarang kedua muda-mudi itu telah berada di dalam mobil. Dewa memilih menyuruh Julius untuk menyupiri mereka karena dia sedang malas menyetir. Entah kenapa jantung Fatma berdetak semakin kencang saat memasuki kompleks tempatnya tinggal bersama keluarganya.
Setelah sampai, kedua orang itu langsung masuk setelah dipersilakan oleh mama Fatma. Sekejap keadaan hening dalam ruang tamu yang sempit itu. Semuanya duduk di lantai yang sudah dilapisi alas entah apa itu namanya. Ya, di rumah Fatma memang tidak ada kursi atau sofa.
"Ekhem ... jadi, kedatangan kami ke sini—"
"Biar aku saja," potong Dewa saat Julius ingin mengutarakan maksud kedatangan mereka ke mari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuikhlaskan Kau Bersamanya [COMPLETED]
Spiritual"FATMA, AYO CEPAT LARI!" Perempuan yang dipanggil Fatma itu pun menoleh ke belakang. Matanya terbelalak melihat sekelompok orang yang mengejar mereka semakin mendekat. Dengan susah payah dia terus menambah tempo larinya. "A-aku tidak kuat," ujar Fat...