27

24.1K 1.9K 37
                                    

"NAT, nyokap lo, Nat, nyokap lo baru aja meninggal," ucap Jesselyn sambil menahan tangis.

Juna yang baru sampai di rumah sakit pun tak kuasa menahan tangis. Lelaki itu segera berlari menuju bangkar ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Yogi yang mengantarkan lelaki itu pun tak tinggal diam. Ia berusaha menenangkan temannya itu.

"Ma, Mama enggak boleh pergi, aku masih perlu Mama. Maafin aku, Ma, karena udah sering kali buat kesalahan sama Mama. Mama boleh marah sama aku, Mama boleh mukul aku, Mama boleh hukum aku. Tapi jangan tinggalin Juna, Ma. Juna belum siap, Juna masih butuh Mama," isak Juna sambil memegang tangan ibunya.

"Udah, Jun, lo enggak boleh kayak gini," ucap Yogi berusaha menenangkan lelaki itu. Yogi menepuk bahu Juna pelan.

"Lo enggak ngerti gimana rasanya jadi gue, lo enggak ngerti gimana rasanya enggak punya siapa-siapa!" teriak Juna. Juna marah, lelaki itu sangat marah, pada semuanya, pada dunia, pada dirinya sendiri. Ia merasa seakan dunia membencinya, dunia menyudutkannya, dunia merenggut kebahagiaannya.

"Apa gue salah buat bahagia? Apa gue enggak boleh bahagia? Kenapa dunia selalu aja ngambil kebahagiaan gue, kenapa?" lirih Juna. Lelaki itu kembali menangis di samping bangkar ibunya.

Yogi akhirnya menyerah untuk menenangkan Juna. Lelaki itu membiarkan Juna melampiaskan emosinya. Namun, bukannya malah lebih tenang, Juna malah semakin kacau. Isak tangis Juna semakin keras mengisi satu ruangan tersebut. Ini pertama kalinya Yogi melihat Juna menangis sekencang itu. Biasanya Juna hanya sekedar meneteskan air mata. Tapi kali ini berbeda. Bahkan Yogi bisa merasakan emosi yang Juna rasakan.

Yogi berjalan mendekati Jesselyn. "Mending lo aja yang nenangin dia, gue coba ngehubungin temen sama bokapnya dia," ucap Yogi yang dijawab anggukan oleh Jesselyn. Yogi pun keluar dari kamar itu.

Jesselyn mendekati Juna, Jesselyn menepuk bahu Juna singkat. "Nat, lo jangan kayak gini, lo enggak boleh terlalu sedih," ucap Jesselyn.

"Gimana gue enggak sedih? Ibu gue Jes, ibu gue," lirih Juna.

"Dia juga ibu gue, Nat!" ucap Jesselyn penuh penekanan. "Dia juga ibu gue," lirih Jesselyn. Air mata gadis itu kembali mengalir membasahi pipinya. "Tapi kita enggak bisa kayak gini, kita enggak boleh seterpuruk ini. Gue enggak mau nyokap lo sedih liat kita kayak gini. Gue enggak mau, Nat," kata Jesselyn sambil menatap tulus ke arah Juna.

Juna kembali menangis, Jesselyn pun memeluk lelaki itu. Ia berusaha memberikan ketenangan, walau sebenarnya gadis itu juga tidak dalam kondisi baik-baik saja. Hanya saja Jesselyn tak ingin menjadi seseorang yang egois. Dia tahu bahwa rasa kehilangannya tak ada apa-apanya dibanding rasa kehilangan Juna.

×××××

SUASANA sekolah menjadi gaduh setelah kepergian Juna. Bukan karena cara pensi, akan tetapi karena pertengkaran Juna dan Juni tadi. Banyak yang senang melihat itu, namun ada juga yang kecewa melihatnya. Para panitia pensi pun berusaha untuk mengendalikan suasana yang sempat kacau itu. Mereka menyuruh para siswa untuk tenang dan kembali menikmati acara pensi seperti sebelumnya.

Sementara itu Juni berusaha terlihat tenang. Gadis itu kembali melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Ia berusaha untuk tidak terganggu dengan tatapan-tatapan orang-orang di sekitarnya.

"Juni! Juni!" teriak Anji sambil berlari mencari Juni.

Juni yang berada di kelas pun menengok tanpa niat untuk menghampiri sumber suara.

"Jun, Jun." Anji ngos-ngosan setelah sampai di kelas Juni.

"Lo kenapa?" tanya Aya yang berada di samping Juni.

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang