LELAKI itu membuka pelan pintu ruangan nomor 124 tersebut. Seketika udara dingin dari pendingin ruangan menerpa kulitnya. Bau obat-obatan mulai memasuki indra penciumannya. Lelaki itu tersenyum, saat melihat wanita itu tertidur pulas di bangkar rumah sakit dengan peralatan medis yang tersambung di beberapa bagian tubuhnya.
Lelaki itu, Juna, berjalan menuju kursi di sebelah bangkar. Ia duduk di sana sembari menyentuh tangan wanita di atas bangkar itu. Seketika suhu dingin dari tangan wanita itu, kini dapat Juna rasakan.
"Mama masih tidur aja, apa enggak kangen Juna?" tanya Juna lirih. Mata lelaki itu seketika berkaca-kaca. Lelaki itu berusaha dengan kuat menahan agar air matanya tak menetes.
Juna tertawa kecil. Pandangannya tertuju ke arah kaca jendela di hadapannya yang terbuka. Menyuguhkan pemandangan warna langit yang mulai menggelap. "Ma, tahu, enggak? Juna tadi baru aja nganterin cewek, namanya Juni."
"Dia itu galak banget, Ma. Gak kayak cewek-cewek pada umumnya, pokoknya dia beda banget, deh. Juna juga kagum sama dia. Dia bisa ngabisin satu mangkuk bakso pake empat sendok sambel," ujar Juna lalu terkekeh pelan. "Juna aja makan pake saos masih kepedesan." Juna kembali menatap ke arah ibunya yang terbaring lemas di atas bangkar rumah sakit.
"Tapi harus Juna akuin dia itu berani banget. Masa dia enggak takut pas Juna jelas-jelas udah natap dia tajem gitu. Padahal biasanya cewek-cewek bakalan langsung nangis pas digituin. Tapi dia enggak, dia malah bales natap Juna juga. Ngeselin, kan?"
Selama beberapa saat Juna terdiam. Senyumnya mengembang ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Juni di kantin sekolah. Kalau dipikir-pikir lucu juga, ya, mereka sampai debat keras hanya karena masalah sepele.
"Eh, maaf, Ma. Juna jadi kelepasan ceritanya. Pasti Mama bosen, kan, dengerin Juna cerita terus," ujar Juna. "Makanya Mama bangun, dong, biar Mama bisa gantian cerita."
Tak ada suara yang membalas ucapan Juna. Laki-laki itu tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Berusaha menenangkan perasaannya yang saat ini terasa campur aduk.
Tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka, lelaki itu pun menengok ke belakang. Di sana berdiri seorang gadis cantik dengan kulit putih pucat. Gadis itu berjalan pelan mendekati Juna yang sedang menatapnya. "Hai, Nat!" sapa gadis itu sambil melambaikan tangannya ke arah Juna.
Juna membalas lambaian tangan tersebut dengan dengan senyuman. "Hey, Jes," balas Juna. "Lo apa kabar? Udah lama gue enggak liat lo ke sini," ucap Juna.
Jesselyn tersenyum simpul sembari berjalan mendekati Juna. "Gue kangen nyokap lo." Gadis itu menatap wanita paruh baya itu, berharap wanita itu kembali pulih. Tangannya menyentuh tangan wanita itu, mengelus dengan lembut. "Gue kangen masakan nyokap lo," lanjutnya.
"Sama gue juga, Jes. Gue kangen banget sama Mama." Juna lalu menatap Jesselyn. "Gue mohon jangan menghilang lagi, Jes. Cuma lo satu-satunya orang yang bisa ngertiin gue," kata Juna.
Jesselyn membalas tatapan Juna dengan tatapan teduhnya. Gadis itu tersenyum tipis. "Selama lo enggak keberatan, gue siap selalu ada di dekat lo, Nat," jawabnya.
Juna dan Jesselyn tertawa pelan, perkataan yang mereka ucapkan membuat mereka kembali teringat akan masa lalu di mana mereka pertama kali bertemu.
Lelaki kecil itu terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar menandakan ia sedang menangis. Seseorang menepuk pundak lelaki itu, membuatnya mendongak.
"Hai!" Di sana terlihat gadis kecil dengan lolipop di tangan kanannya dan boneka teddy di tangan yang satunya. "Kamu kenapa?" tanya gadis itu. Ia duduk di sebelah lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni
TeenfikceCerita ini akan tersedia gratis pada 30 April 2022 *** Juna, cowok paling berandal dan playboy di sekolah tiba-tiba disuruh menjaga sang ketua OSIS super garang sekaligus musuh bebuyutannya, Juni. Sejak saat itu, hidup Juni tidak lagi bisa tenang, a...