Nightmare (Embun)

27 5 0
                                    

Aku bergidik ngeri tatkala kerlingku bersiborok dengan seorang laki-laki bertubuh kerdil layaknya tuyul. Pandangan mata tajam serta gigi nyaris menyerupai taring menyempurnakan penampilan angkernya. Nafasku kian menderu saat langkah kakinya mendekat. Bau anyir dari dari tetesan darah yang keluar dari hidung tak lupa telinga menusuk indra penciumanku.

Sayang kakiku kelu untuk sekedar menggeser tubuh guna menghindari sentuhan tangan kasar miliknya. Membuatku memuntahkan segala isi perut tanpa ampun tepat di depan muka laki-laki tersebut. Astaga bahkan lidah lihaiku terasa mati meski sudah kucoba berulang kali untuk berteriak.

Dalam hati aku menyumpah serapah laki-laki ini. Tangannya terus bergerak, menelusur wajah mulusku tanpa jeda. Sehingga rasa jijik akibat pergesekan kulit kami memuncak. Senyum iblis tersungging dan seringai serigala tercetak. Sial, aku berhasil berjengkit sejengkal. Namun laki-laki itu kian mendekat.

Sebuah kapak muncul dari balik tubuh kerdil di depanku. Kini yang ada hanyalah pikiran untuk lari dari sini. Tak peduli bagaimana caranya. Sekuat tenaga kukerahkan keberanian. Sebuah pukulan telak bersarang pada rahang menjijikkan itu. Nafasku menderu namun tubuhku masih terhuyung.

"Siapa kau?"

Buka jawaban melainkan sebuah hunjaman kasar penuh amarah bersarang padaku. Sial, betisku tertikam. Darah mengucur tak karuan. Bibirku meringis tipis namun fokusku belum terpecah.

"Siapa kau? Apa salahku?"

Lagi, bukan jawaban namun hunjaman kedua. Aku meringis lebih kentara. Sementara dia menjilat tiap tetes darah yang mengucur dari dalam tubuhku.

"Kau jalang!"

"Kau jalang!"

"Apa katamu?"

"Kau jalang!"

Hanya dua kata itu yang mengantarkanku pada sebuah kegelapan. Sebelum akhirnyanya tubuhku limbung tanpa ampun. Terjerembab pada lantai dingin lagi. Samar-samar terdengar teriakan seseorang memanggilku. Namun sekedar bangkit rasanya terlalu sakit. Aku menyerah pada pusara waktu. Hingga sebuah tangan dingin menyentuh pipiku. Rasanya terlalu nyaman dan aku menikmati.

"Bangun Renia."

"Bangun Renia."

"Kenapa aku ada di sini?"

"Karena jalang itu sudah mati. Sehingga kamu bisa kembali."

"Apa maksudnya?"

Mama hanya tersenyum. Sehingga tanda tanya makin besar di otakku. Rentetan kejadian tadi seperti mimpi. Tapi kenapa rasa nyeri di kedua betisku terasa nyata. Entahlah, hingga saat ini aku masih mencari apa arti semua ini.

Penulis: Embun Prakoso

The Little Story...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang