1

1.9K 136 53
                                    

Dia berlari tanpa alas kaki. Napasnya tak lagi normal. Tiap langkah, detak jantungnya menjadi lebih cepat. Gaun putihnya ternodai darah.

"Kembali kau," teriak pria renta yang mengejarnya. Sembari membawa botol kaca, pria itu tak henti berteriak.

Dia menoleh ke belakang. Jaraknya dengan pria tua itu sudah jauh. Dia bersyukur dalam hati. Namun, tidak menghentikan larinya. Dia takut sekali kalau pria itu berhasil membawanya.

Dia melihat siswa SMA memakai jaket hitam bercorak merah. Dia pun menarik pelan jaketnya. "Kumohon tolong aku. Orang itu mengejarku. Tolong," katanya. Dia gemetaran.

Dia melihat siluet pria tua tadi. Lantas, dia memeluk siswa SMA itu. "Tolong. Tolong. Orang itu akan membawaku."

Siswa SMA tadi kebingungan. Dia mengajak gadis bersurai ungu bersembunyi di celah antar gedung. Juga memeluknya agar badannya tak begitu terlihat. Tubuh tingginya cukup menutupi gadis mungil itu.

Pria tua mengedarkan pandangannya ke segala arah. Dia melihat anak itu, tapi menghilang dengan cepatnya. "Kau berhasil kabur kali ini. Aku akan menemukanmu."

Siswa SMA itu betah memeluknya. Dia bingung, apa yang ditakuti gadis ini.

"Tolong aku," kata gadis bermanik ungu tua. Dia meremas jaket hitam orang yang dipeluknya.

"Siapa kau?"

"Sumi ... Sumire."

"Jika kau ingin tahu, namaku Boruto." Boruto melepas pelukannya.

"Tolong aku," bisik Sumire. Dia tidak melepas pelukannya pada Boruto.

"Aku akan membawamu ke apartemenku. Beruntung sekali, gedung sebelah kita adalah apartemenku." Boruto menggendong Sumire di punggung. Dia benar berniat menolong gadis malang itu. Dia memang memiliki rasa iba yang tinggi.

Sesampainya di apartemen, Boruto membaringkan Sumire di kasurnya. Dia melihat luka di kening Sumire. Ternyata, itulah sebab gaun Sumire tak sepenuhnya putih.

"Aku akan mengobati lukamu. Atau, kau ingin kuantar ke rumah sakit saja," tawar Boruto.

"Aku tidak ingin ke rumah sakit." Sumire terlihat lemas dan tak memiliki tenaga. Siapa sangka dia sudah berlari dari kejaran pria itu sejauh lima kilometer tanpa istirahat?

Boruto mengambil kotak obat di bawah kolong kasurnya. Dia mulai mengobati luka di dahi Sumire dan mengambil banyak pecahan kaca kecil dengan telaten. "Sakit?" tanyanya.

Sumire mengangguk. "Sakit. Pusing."

Boruto telah selesai mengobati Sumire. Perban di kepala Sumire menjadi bukti, bahwa Boruto peduli padanya. "Tidurlah."

Sumite mengulas senyum lemah. Dia mengangguk, lalu berkata, "Terima kasih."

Boruto meninggalkan kamarnya. Menelusuri apartemen besarnya, itulah yang dia lakukan. Akhirnya, dia memasak ramen sederhana untuknya dan Sumire. Dia bersenandung ringan. Juga melamun memikirkan Sumire yang mendadak meminta pertolongan. Beribu pertanyaan melintas di benaknya. Dia amat penasaran. Ramennya telah siap setelah berlayar bersama lamunannya. Dia membawa ramen itu ke kamar. Kemudian, membangunkan Sumire. "Sumire, bangun. Aku membuatkan ramen."

Sumire membuka kelopaknya perlahan. Suara tegas Boruto cukup membangunkannya. Dia bergegas mendudukkan diri dan bersandar di sebuah bantal. "Terima kasih. Kau baik sekali. Kau seperti seorang malaikat," pujinya.

Boruto menyuapi Sumire perlahan. Dia pun berkomentar. "Tidak perlu berterima kasih."

Sumire merebut mangkok berisi ramen jatahnya. "Aku akan makan sendiri. Makanlah ramenmu sebelum dia menjadi gendut dan bengkak."

[5] SanctifiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang