"Sumire," panggil Boruto, "Kita makan malam di luar saja. Kau mau tidak?"
Sumire mengangguk malu-malu. Namun, dia baru teringat sesuatu. "Aku tidak memiliki uang."
"Tenang saja. Uangku tidak akan habis hanya untuk membiayai kehidupanmu sementara ini." Bagaimana uangku akan habis jika sekali melakukan pekerjaan, gajiku sudah bisa membeli setidaknya satu mobil, lanjut Boruto dalam hati.
Mata Sumire berkaca-kaca. Dia terisak pelan. "Kau baik sekali. Aku banyak berhutang budi dan uang padamu."
Boruto kelabakan sendiri. Dia bingung bagaimana cara menenangkan orang menangis karena dia tidak pernah melakukan hal itu. "Aduh ..., Sumire hentikan tangismu. Nanti terdengar tetangga."
Sumire menggelengkan kepalanya, lalu bertanya, "Bukankah apato ini kedap suara?" Dia menangis lebih lama lagi.
"Tenanglah, Sumire. Jika ingin berterima kasih, jangan menangis, oke?"
"Terima kasih, Boruto." Sumire mengelap air mata dan ingusnya di baju. Dikarenakan, dia tidak bisa menemukan sehelai tisu di mana pun.
"Ganti baju dulu. Tidak mungkin 'kan kau pergi dengan bajuku," perintah Boruto. Sumire langsung melaksanakannya. Dia akhirnya mengenakan pakaian milik Himawari. Cukup pas dan amat manis di tubuh Sumire. Boruto melongo melihat Sumire yang menurutnya sangat cantik. Saking terpesonanya, dia tidak menggagas Sumire yang kala tadi memanggilnya.
"Boruto? Hai, jiwamu masih di sini?" Sumire mengibaskan tangannya di depan wajah Boruto.
"Ah, aku melamun. Ayo berangkat."
Boruto dan Sumire berjalan sekitar dua puluh meter. Sampailah mereka di halte. Bus pun datang seakan mendukung acara mereka. Mereka turun di dua halte berikutnya. Memang cukup jauh, tapi di situlah tempat makan terbaik.
"Wah, sepertinya mahal," gumam Sumire.
"Kubilang tidak apa, uangku tidak akan habis." Boruto menggandeng Sumire masuk ke dalam rumah makan, atau tepatnya restoran. Semburat merah muda muncul di pipi Sumire akibat genggaman Boruto. Mereka duduk di dekat etalase.
Pelayan menghampiri. Dia menyapa sebelumnya. "Boruto? Pesan seperti biasa?"
"Tidak. Aku pesan menu makan malam, bukan yang biasa." Pelayan tadi mengangguk menanggapi permintaan Boruto. Dia bergegas menjalankan tugasnya.
"Aku sangat merepotkan, bukan?" Sumire menunduk sedalam-dalamnya. Tidak berani menatap netra biru milik Boruto.
Boruto menghela napas. "Tidak. Kau sama sekali tidak merepotkanku. Hentikan ocehanmu tentang repotlah, uanglah, atau sebagainya. Aku tidak suka."
Makan malam telah datang. Mereka memakannya dalam keheningan karena tidak ada topik yang akan dibicarakan. Setelah selesai, mereka hendak mampir di swalayan.
"Nona Sumire, dia berani sekali kabur. Tidak seperti kakaknya yang patuh. Sebenarnya, apa yang ada di kepalanya?" tanya sosok bertubuh kekar dengan balutan baju hitam.
Rekannya menyahut, "Dia tidak betah mungkin."
Sumire yang mendengar bisik-bisik, menarik Boruto ke gang kecil. Lagi-lagi, dia memeluk Boruto agar mendapat perlindungan.
"Hey, ada apa?" ucap Boruto. Sumire mendesis. Kemudian, dia membekap Boruto menggunakan tangan. Sehabis beberapa menit, mereka keluar dari gang itu. Orang-orang tadi pun sudah menghilang.
Boruto menggosok ujung hidungnya, lalu berdehem. "Mereka mencarimu?"
"Iya. Mereka orang suruhan Ayah." Sumire memegangi lengan Boruto. Mereka tidak jadi ke swalayan, dan memilih kembali ke apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] Sanctified
FanfictionHidup di dalam kelam tanpa setitik cahaya pun. Ketidaksengajaan bertemu denganmu. Berikan sebuah harapan untuk menggapai cahaya. Kugapai tanganmu yang akan menuntunku. Menuju dunia yang berbeda. Namun, sama saja. Aku kembali ke kegelapan. . . . [P...