"Natsumi?"
"Maaf telah membentakmu, Sumire." Natsumi mengibaskan rambut panjangnya. Dia memandang sinis ke arah saudara kembarnya, Sumire. "Kuharap kau tidak pulang. Bersembunyilah sampai bawahan Ayah menyerah untuk menemukanmu."
Sumire tertegun pada ucapan Natsumi. Dia kira Natsumi akan melapor pada ayah mereka, lalu membawa pulang dirinya. Namun, Natsumi seolah niat sekali menendang Sumire keluar dari rumah. Walau Sumire yang kabur, bukan diusir. "Pasti. Aku akan bersembunyi dengan baik."
"Ingat! Jangan pernah kembali!" Natsumi membentak Sumire,
hingga dia mundur beberapa langkah karena terkejut. Sumire baru menyadari kalau Natsumi sudah tidak menginginkan keberadaannya di rumah.Boruto menarik Sumire ke belakang punggungnya. "Nona, dia sudah meminta maaf. Kenapa kau malah menyolot?"
"Terserah. Aku muak melihat mukamu." Natsumi melenggang pergi. Hasratnya untuk berbelanja sudah hilang karena pertemuannya dan Sumire.
"Kau baik-baik saja?" Boruto menangkup pipi Sumire. Memastikan keadaan batin gadis itu normal. Sumire mengangguk; pandangannya kosong. Dia berpikir; saudaranya sudah tidak menyayanginya lagi. Namun, dia menepis semua itu. Pasti ada alasan mengapa Natsumi agak benci padanya.
.
Boruto dan Sumire tampak seperti sepasang kekasih. Bergandengan serta berbicara akrab. Membuat orang di sekeliling mereka iri. Boruto yang jangkung sangat pas dengan Sumire yang mungil. Namun, Sumire kesulitan. Dia harus mendongak agar dapat menatap wajah Boruto.
"Kau ingin menonton film?" Boruto berpikir, bolehlah sekali-kali dia menonton film horor. Hitung-hitung menghilangkan phobianya pada makhluk tak kasat mata.
"Apa ini bisa disebut kencan?" Batin Sumire menjerit kegirangan. Baru kali ini, dia bersama laki-laki. Dia tidak pernah berpengalaman dalam cinta karena sang ayah posesif. Bersama Boruto akan menambah pengalaman cintanya.
"Kalau kau mau, ini kencan. Bagaimana kalau film horor?"
"Aku akan membalas dendam. Kau membunuhku, lalu memasukanku ke lemari. Apa salahku?" Hantu itu perlahan maju. Kemudian, mencekik kekasih yang telah membunuhnya. Lidah pria itu menjulur ke luar, kekurangan oksigen.
"Hi." Boruto menyembunyikan wajahnya di bahu Sumire. Sesekali melirik layar lebar di depannya. Sedangkan Sumire santai, baginya tidak ada yang perlu ditakuti selain Tuhan. Dia menyaksikan seraya memakan jatah popcorn milik Boruto. Mumpung laki-laki di sebelahnya ketakutan, dia merampas popcorn yang tak kunjung dimakan. Tapi, dia merasa geli saat hidung Boruto menyentuh bahunya.
"Argh ...," teriak pria itu karena sang hantu mematahkan lehernya. Kemudian, pria itu ambruk dengan mata melotot, lidah terjulur, serta leher patah.
"Aku tidak kuat lagi, Sumire." Boruto sangat anti pada hal-hal berbau mistis. Dia mengira dengan cara ini, dia bisa menghilangkan ketakutannya. Namun, tidak semudah itu.
"Ta ... tapi, filmnya masih seru." Sumire tidak bisa berbuat apa pun. Dia ditarik paksa. Padahal, dia sudah naksir pada film tadi. Menegangkan dan mencengangkan.
Boruto dan Sumire duduk di jok belakang. Boruto ingin menenangkan dirinya walau sekejap. Di kepalanya, masih terngiang makhluk bermuka menyeramkan.
"Kau baik-baik saja?" Giliran Sumire yang mengkhawatirkan Boruto. Boruto gemetaran, dan matanya was-was. Dia menjawab, "Aku takut." Dia kemudian membawa Sumire ke pangkuannya. Lalu dengan mudah, memeluknya. Menyelipkan kepalanya di leher Sumire. Tangannya bergetar menyentuh pinggang Sumire. Akhirnya Sumire tahu, seberapa besar ketakutan Boruto pada makhluk itu. Sumire melingkarkan tangannya pada leher Boruto. "Sudah, jangan takut. Kau tidak akan melihatnya secara langsung. Itu hanya film." Yang takut seharusnya aku, sambungnya dalam hati.
Boruto mulai rileks. Dia berhasil menghilangkan bayang-bayang film tadi. Tapi, ada yang salah dengan dirinya. Dia dapat mendengar detak jantungnya yang melaju cepat. Badannya juga panas dan sesak dalam waktu bersamaan. Padahal, pendingin di mobil tetap menyala. Dia tidak tenang. Tepat di depan matanya, terpampang jelas leher jenjang Sumire. Berkah apa yang kau dustakan. Dia menggeleng pelan. Sifat mesum ayahnya menurun. Dia sudah sering melihat majalah dewasa ataupun tidak sengaja memergoki kedua orang tuanya sedang ... tidak bisa dijelaskan. Dia tidak tahu, akan sekuat ini kemesuman dalam dirinya.
Sumire menjauhkan badannya dari Boruto, namun tetap dalam posisi. Dahinya berkerut, kebingungan pada Boruto yang tidak lagi takut, tapi panik. "Kau kenapa?" Boruto tetap membisu. Tidak mungkin dia mengatakan; aku menginginkanmu. "Boruto, kau kenapa lagi?" tanya Sumire ulang.
"Tidak apa-apa." Boruto semakin tertarik ketika disuguhi wajah ayu Sumire dengan jarak cukup dekat. Dia mengusap bibir merah muda Sumire. Tergoda untuk mencicipinya barang sekali saja.
"Ada ap ...." Perkataan Sumire terhenti. Boruto menempelkan bibirnya. Dia menggigit pelan bibir bawah Sumire. Kemudian, menghisapnya. Apa yang kulakukan? batin Boruto.
.
Boruto melirik takut-takut Sumire dari balik pintu kulkas yang terbuka. Setelah dua kali kelancangan Boruto, gadis berambut ungu tua itu diam seribu bahasa. Dia hanya bisa memandang Sumire yang sibuk menyiapkan makan malam mereka.
"Boruto, tutup pintu kulkasnya. Boros listrik," tegur Sumire.
"Kau tidak marah?" Boruto duduk, memersiapkan diri menyantap sushi ala rumahan.
"Marah tidak bisa mengembalikan keperawanan bibirku."
"Maaf."
"Lupakan. Makan saja."
Ting tong
Cklek
"Boruto! Kita hampir telat. Kau di mana, setan!" teriakan gadis Uchiha menulikan sekejap telinga Boruto dan Sumire.
"Aku di dapur, Sarada," balas Boruto dengan lesu. Telinganya masih berfungsi baik, tapi Sarada selalu berteriak ketika berbicara padanya.
Sarada memberi bogem pada kepala Boruto. Kesal rasanya mendapat partner kerja yang tidak gerak cepat. Padahal, pekerjaan mereka membutuhkan ketepatan waktu. Namun, sulung Uzumaki itu tidak pernah menyadari keleletannya dalam berkerja. "Ini sudah jam berapa, Bodoh? Kau ingin ayahmu membunuhku, hah?"
"Jam ... aku tidak tahu. Itu tidak penting." Boruto tidak peduli waktu. Dia lebih suka jalan pintas yang tidak mementingkan waktu. Seberapa lama pun, yang terpenting pekerjaannya beres.
"Oh, aku baru melihatmu. Kau siapa?" Sarada menyipitkan matanya penuh intimidasi. Dia tidak suka ada gadis lain yang dekat dengan Boruto. Bahkan, untuk partner bekerja sekali saja, dia rela menggantikannya. Dia tidak tahu pasti mengenai perasaannya. Apa ini perasaan posesif antar teman atau terselip perasaan cinta? Sarada tidak bisa memastikannya.
"Aku siapa? Boruto, aku siapamu?" Sumire tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak ingin Sarada salah paham. Memang di depan ibu Boruto dia mengaku sebagai kekasih. Tapi, pasti berbeda pengakuan di setiap orang.
Boruto menjawab tanpa beban. "Dia kekasihku. Maaf aku tidak memperkenalkannya padamu." Dia tidak keberatan status single tak tersemat lagi padanya. Dia juga berharap itu menjadi nyata.
Rahang Sarada mengeras. Dia ingin menyingkirkan Sumire segera. Menurutnya, Boruto hanya miliknya seorang. "Oh, begitu." Dia berusaha menyembunyikan amarahnya.
Boruto merasakan atmosfer mereka memburuk. Dia mengambil tas gendongnya, lalu menarik Sarada keluar apartemen. "Aku pergi dulu, Sumire. Tidak usah menungguku pulang. Tidurlah yang nyenyak."
"Dasar dada rata," umpat Sumire, "Eh ..., apa yang kukatakan." Sebagian kecil dari dirinya seolah tertusuk benda tajam. Rasanya sakit dan perih kala Boruto bersama perempuan lain. Benarkah ini rasa cemburu. Namun, dia tidak punya hak untuk melarang. Dia hanya orang yang kebetulan ditolong Boruto.
Sumire melirik dua piring sushi buatannya. "Kau bahkan belum memakan sushi itu."
.
Mature? Yang suka hentai mana suaranya?! Author makin nista.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] Sanctified
FanfictionHidup di dalam kelam tanpa setitik cahaya pun. Ketidaksengajaan bertemu denganmu. Berikan sebuah harapan untuk menggapai cahaya. Kugapai tanganmu yang akan menuntunku. Menuju dunia yang berbeda. Namun, sama saja. Aku kembali ke kegelapan. . . . [P...