5

1.5K 103 13
                                    

Senja berganti malam. Mentari pun kembali ke peraduan. Langit menggelap, menaburkan ribuan bintang. Sumire memandang jendela. Sudah lima jam semenjak Boruto pergi. Entah di mana, apakah sepenting itu hingga menjelang larut tak pulang jua.

Sumire menghela napas lelah. Dia sudah melakukan banyak aktivitas untuk membunuh waktu seraya menunggu. Namun, yang ditunggu pun tak kunjung pulang. Dia sudah menghabiskan cemilan yang dibelinya dua jam lalu di supermarket terdekat. Dia berakal, memakai apa pun yang bisa menutup identitasnya.

Rasa kantuk mulai menyerang. Sumire berulang kali mengusap matanya agar tetap terjaga. Kekhawatiran lebih mendominasinya. Dia berjaga-jaga jika sesuatu buruk terjadi.

Sumire beranjak ke ruang tengah. Duduk di sofa, lalu menyalakan televisi. Memilih saluran yang menayangkan acara menarik. Terasa akhirnya, semua tak nyaman tanpa Boruto. Dengan pertemuan sesingkat itu, rasa yang tak wajar timbul. Perlahan, tapi pasti, mengikuti waktu.

Sumire gelisah. Ini terlampau lama. Hampir tengah malam, Boruto tak juga kembali. Sesibuk itukah Boruto. Sumire sendiri tidak paham apa yang dilakukan Boruto di luar sana. Jangan-jangan, Boruto berpacaran dengan perempuan tadi. Kemudian, menghabiskan malam yang panjang, pikir Sumire. Untuk apa, Sumire menunggu Boruto jika dia melakukan kesenangan tersendiri. Tanpa memikirkan Sumire yang sejak tadi menanti.

Sumire yang kelelahan, jatuh terlelap.

Pintu apartemen dibuka. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Boruto. Dini hari, jam dua pagi, dia sampai dengan luka gores di tangan sebelah kiri. Terlihat, darah mengering. Belum tersentuh perawatan sedikit pun.

Boruto memasuki apartemen. Langkahnya perlahan dan tak bersuara. Dia takut membangunkan Sumire yang menjelajahi alam mimpi. Dan benar saja, Sumire terlelap dengan posisi anehnya. Duduk bersandar.

Perasaan bersalah hinggap di hati Boruto. Seharusnya, dia memberitahu Sumire kalau pulang dini hari.

Boruto mengangkat tubuh Sumire yang seringan kapas menuju kamar. Tiada lagi kata yang bisa mengungkapkan rasa kagum. Kagum pada paras anggun nan cantik milik Sumire. Tiada pula tandingannya.

.

Pagi menyapa. Cahaya lembut dari sang matahari menerobos jendela. Hawa sejuk menerpa dua insan itu. Yang masih sama-sama terlelap.

Sumire terbangun. Alarm dalam dirinya secara otomatis membangunkan. Dia menyadari tangan Boruto melingkar di perutnya. Merona merah wajah putihnya. Namun, pupus seketika. Melihat tangan itu terlukai. Dengan perlahan, dia menyingkirkan tangan itu. Sigap dia mengambil P3K yang terletak di dapur. Kembali ke kamar dengan napas yang tak stabil.

Sumire membersihkan luka itu dengan kapas yang dibasahi alkohol. Kemudian, mengusapkan obat merah. Dan membalutnya serapi mungkin. Dilihatnya paras Boruto yang tertidur dalam lelahnya.

"Kenapa kau tak membangunkanku? Aku sungguh khawatir padamu," bisik Sumire. Dia mengusap pipi bergores dua itu. Menatapnya dalam diam. Terhanyut dalam lamunan.

Jam alarm yang disetel pukul tujuh pagi berbunyi. Sumire mematikan dengan kecepatan kilat. Dia tidak ingin Boruto terbangun, paham jika Boruto masihlah lelah.

Sumire memilih turun. Memasak makanan yang bisa membuat semangat Boruto kembali. Hari ini tanggal merah. Boruto bebas menikmati hari istirahatnya.

Boruto melenguh pelan. Dia mengerjapkan mata seraya mengumpulkan segenap kesadaran. Boruto mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Pandangannya tertuju pada tangannya sendiri. Sudah terbalut perban. Luka ini pasti yang mengobati Sumire, pikir Boruto.

Boruto menuju kamar mandi. Melakukan pembersihan, tapi tidak mandi. Dia hanya menggosok gigi dan mencuci muka. Cukup terlihat fresh. Lagipula Sumire tahu seburuk apa wajahnya saat tidur. Tak mandi pun tak penting.

Boruto menuruni anak tangga. Tercium aroma lezat dari masakan Sumire. Yang dia tahu sama lezatnya dengan buatan sang Ibu.

Hidangan tersaji. Jajaran makanan khas Jepang yang mengenyangkan menggoda lidah untuk mencicipi. Bukan main, Boruto kenyang pagi ini. Ini baru sarapan, belum lagi nanti jika makan siang. Beratnya akan bertambah sekilo mungkin.

"Selamat makan," teriak Boruto. Dia bergegas duduk. Mengambil sumpit dan mangkok berisi nasi. Sumire berdehem ria. Boruto meletakkan sumpitnya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, mencuci tangan sebersih mungkin agar Sumire tak ambil pusing.

"Selamat makan," teriak Boruto untuk kedua kalinya. Diikuti bisikan Sumire yang mengucapkan kalimat seragam.

Meja makan hening. Hanya terdengar alunan musik klasik yang sedari Sumire memasak dimainkan. Tidak ada percakapan di antara mereka. Sumire memilih diam. Boruto malah bingung. Ada apa dengan Sumire hari ini. Menatap pun sudah enggan. Apalagi untuk berbicara, pikir Boruto.

Sarapan selesai. Boruto terpaku di kursinya. Dia diam seribu bahasa. Hanya memerhatikan Sumire yang melakukan tugas bak ibu rumah tangga. Membereskan peralatan makan, lalu mencucinya.

Menit-menit berlalu. Sumire tetap bungkam. Boruto memejamkan matanya, menarik napas sedalam mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kau tidak pergi dengan gadis kemarin?" tanya Sumire mengintimidasi. Namun, tak memandang Boruto sekali pun.

Boruto mengernyitkan dahi. "Tidak. Aku tidak ada urusan lagi. Pekerjaanku kemarin sudah tuntas. Ada apa memangnya?" tanya Boruto kemudian.

"Kau pulang jam berapa?" Sumire bersandar di sofa. Raut wajahnya semakin menyeramkan. Ini seperti seorang istri yang memojokkan sang suami.

Boruto menjawab takut-takut. "Sekitar jam dua dini hari," cicitnya. Dia menunduk. Untuk ini, terlihat seperti anak yang habis melakukan kesalahan fatal.

"Jadi, pekerjaanmu dengan seorang gadis hingga larut terlalu penting. Kau tidak tahu kalau aku mengkhawatirkanmu. Setidaknya kau mengabariku lewat telepon rumah. Dasar ..., terserahlah aku tidak peduli." Sumire menyalakan televisi. Dia berniat untuk melampiaskan amarahnya hari ini. Tidak peduli tempat dan waktu, intinya hari ini dia dalam mode marah.

"Maafkan aku, Sumire. Itu tugas penting dari Ayah. Kumohon kau mengerti," pinta Boruto. Dia menyusul duduk bersama Sumire. Untuk membujuknya, dia bahkan merangkul bahu mungil Sumire. Pandangan Sumire tetap tertuju pada acara televisi yang menayangkan seekor bayi panda. Telinganya seolah tuli dengan apa yang dikatakan Boruto.

"Maaf," ucap Boruto lagi. Ini sudah kedua puluh kalinya setelah lima menit berlalu.

Insting Boruto berkata, jika terus seperti ini, Sumire tidak akan menanggapi. Dia punya satu ide cemerlang agar Sumire kembali memerhatikannya.

Boruto menepis jarak di antara mereka berdua. Menempelkan bibirnya pada bibir Sumire. Diawali kecupan ringan, hingga saling menghisap. Sumire kalut. Kalang kabut. Dia juga ikut bernafsu pada ciuman itu. Rasa kesalnya menguap entah ke mana.

Lenguhan mereka meramaikan suasana apartemen luas yang sepi. Boruto tak tinggal diam. Dia turun mengecupi leher jenjang milik Sumire. Sumire menahan desahannya agar tak keluar, menahan napas. Dia meremas kaos biru laut milik Boruto.

.

Hihihi, apa yang akan terjadi? Terima kasih sudah mau membaca pada sekitar jam sembilan di tempat saya duduk menatap layar hape. Salam manis, Kouki Hana.

[5] SanctifiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang