Sumire membuka tirai kamar. Badannya cukup pegal setelah melakukan aktivitas malam. Yang membuatnya berevolusi menjadi kelelawar khusus malam itu. Lelah juga menghadapi Boruto yang fisiknya masih siswa biasa, tapi kekuatannya seperti orang dewasa umumnya.
Sumire melamun sejenak. Dia tidak tahu akan seperti apa kehidupannya ke depan. Sangat tidak mungkin jika dia bergantung dengan Boruto. Lambat laun sang ayah pasti akan menemukannya. Dia hanya harus mencari cara agar ayahnya tidak melanjutkan tradisi pewarisan itu. Dan dia akan terbebas dari bebannya. Biarlah sang kakak yang melanjutkan pekerjaan ayahnya. Lebih baik dia bekerja serabutan daripada harus melanjutkan usaha ayahnya.
“Natsumi, kau bahagia bukan jika tidak ada aku? Aku pun tidak ingin berada di sana. Silakan kau ambil semuanya. Aku sungguh tidak membutuhkannya,” gumam Sumire. Sembari menatap luar jendela. Pandangannya kosong, pikirannya melayang-layang.
Sepasang tangan memeluknya dari belakang. Napas hangat nan teratur menerpa leher Sumire. Boruto, dia mengecup puncak kepala Sumire. “Apa yang kau pikirkan? Apa kau sedang berpikir nanti kita akan makan apa? Atau nanti kita akan mandi bersama?” Boruto terkekeh mendengar pertanyannya sendiri.
Wajah Sumire memerah seketika. Dia mencubit tangan Boruto yang memeluknya. “Tidak, aku tidak memikirkan apa pun. Aku hanya memandang sekitar, ternyata Jepang luas juga, maksudku Tokyo luas juga.” Sumire mulai berkata tidak jelas. Terlihat sekali perkataannya hanya mengada-ada.
“Apa kau tidak bisa menceritakan masalahmu padaku?” tanya Boruto penuh harap. Berharap agar Sumire segan untuk meluapkan seluruh keluh kesahnya. Membiarkan Boruto mengetahui segalanya. Membiarkan Boruto menjadi sandaran baginya.
Sumire melepas pelukan Boruto. Kemudian berbalik, menangkup wajah Boruto. Mengusap goresan yang terukir di pipi. “Aku akan menceritakannya, sebentar lagi. Kumohon tolong aku beberapa bulan ini.” Sumire mengeluarkan tatap sendu. Dia ingin Boruto memahaminya. Menampungnya lebih lama lagi sudah cukup baginya. Dia tidak memerlukan apa pun, hanya keinginan sederhana untuk lebih lama bersama Boruto. Dia belum memiliki keberanian untuk menghadapi masalahnya. Dia memilih berlari menjauh. Menyiapkan bekal, kemudian dengan segenap rasa berani, dia akan menghadapinya. Segera. Dia berjanji pada dirinya sendiri.
Boruto mengangguk paham. Dia mengecup dahi Sumire. “Seberapa lama pun kau meminta, aku akan tetap ingin dan mau. Ingat, aku tidak butuh ucapan terima kasihmu. Dengan kau ada di sisiku, aku akan bersyukur.”
“Terima kasih, Boruto. Kau baik padaku. Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada dirimu.” Sumire menarik senyum manis. Dia tidak membayangkan jika pada hari kaburnya dia tidak bertemu Boruto, apa wujudnya sekarang. Mungkin, dia memilih melarikan diri ke rumah sakit jiwa.
Boruto menarik pipi tembam Sumire. Dia mengecup pelan bibir bawah Sumire. “Sudah kubilang, jangan berterima kasih lagi.”
“Sampai kapan kau akan menampungku?” tanya Sumire seraya bercanda dan terkekeh geli.
Boruto menggendong Sumire kembali ke kasur. Meletakkan Sumire perlahan. Lalu, mengurungnya di bawah. “Sampai kapanpun! Kalau kau mau, jadi istriku saja.”
“Tidak lucu, Boruto.”
“Apa kau mau melanjutkan yang tadi malam sampai pagi buta?”
“Terserah kau saja.” Sumire berpasrah. Dia tidak berpikir untuk melawan Boruto karena dia yakin, dia yang kalah.
Smartphone milik Boruto berdering kencang dan bergetar. Boruto mendecak kesal. Ada saja yang mengganggu, pikirnya. Dia mengangkat panggilan masuk tersebut. Ternyata, hanya panggilan dari rekan kerjanya, Uchiha Sarada.
“Ada apa?” tanya Boruto dengan kekesalan yang sampai ubun-ubun. “Kau mengganggu saja,” lanjutnya malas-malasan.
Sarada menghembuskan napas kasar. “Uzumaki Boruto, aku hanya mengingatkan, sore nanti persiapan. Tugas kita kali ini agak sulit,” ucapnya dengan tenang. Dia tidak akan membalas amarah Boruto. Sama saja kalau mereka saling adu api, tidak ada yang mau mengalah, rencana hanya akan hancur sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] Sanctified
FanfictionHidup di dalam kelam tanpa setitik cahaya pun. Ketidaksengajaan bertemu denganmu. Berikan sebuah harapan untuk menggapai cahaya. Kugapai tanganmu yang akan menuntunku. Menuju dunia yang berbeda. Namun, sama saja. Aku kembali ke kegelapan. . . . [P...