7

1.8K 121 21
                                    

Suara pintu diketuk pun berbunyi. Menghentikan aktivitas kedua insan itu. Sumire menata kembali penampilannya yang sudah berantakan dengan gerakan sigap. Boruto menahan kesal yang teramat. Dia beranjak, kemudian membuka pintu apartemennya. Pelaku pengrusak momennya ialah Sarada.

"Ada apa? Kau merusak suasana indahku." Boruto menatap tajam Sarada. Dia mengumpat dalam hati. Kurang sedikit lagi sedikit saja dasar Uchiha menyebalkan.

"Susana indah apa? Apartemen tak berpenghuni pun kau sebut indah." Sarada terkekeh geli. Namun, raut wajahnya kembali serius. Untuk masalah canda, dia bukan ahlinya.

Boruto menghela napas. Dia melantunkan kata sabar di hatinya berulang kali. "Jadi, ada apa kemari? Aku tidak bisa lama-lama, sibuk."

Sarada mendengus. "Besok sore kita harus berangkat ke daerah ini. Ayahmu berkata besok lusa, tapi perjalanan dari sini ke sana pastilah memakan waktu yang lama. Setelah kupikirkan, lebih baik kita berangkat besok sore. Sekian," ujar Sarada dengan cepat, to the point, tanpa basa-basi.

Boruto mengangguk berulang kali. Daerah yang terpencil, cocok sekali untuk gerakan gesit ini. Mungkin dia membutuhkan satu partner lagi. Si pemilik bola mata yang cerah. "Bagaimana kalau kita meminta bantuan Mitsuki, bukankah semakin mudah?" usul Boruto.

Sarada menganggum setuju. "Baiklah, nanti aku akan mengabari ayahmu dulu."

"Sudah 'kan? Selesai. Sana pergi pulang. Aku sibuk." Boruto melambaikan tangan mengusir Sarada.

"Sudah. Aku pamit dulu. Kau ini tak sopan sekali, ada tamu tidak diberi jamuan dulu, dipersilakan masuk pun tidak," gerutu Sarada. Tidak biasanya Boruto bertindak begitu.

Boruto mendelik. "Terserah aku lah. Besok bisa dibahas lebih matang bersama Mitsuki. Sudahlah sana pulang." Boruto menutup pintu apartemennya.

Boruto bingung harus bagaimana sekarang. Padahal, kurang sedikit lagi dia menjadikan Sumire menjadi miliknya. Kalau sudah begini, dia jadi canggung. Apa aku lanjutkan yang tadi? Atau ..., bagaimana ini aku bingung. Atau biasa saja? Terlalu banyak atau di pikiranku. Dia berkonflik dengan dia yang lain. Terbesit sebuah pemikiran terakhir. Dia memutuskan untuk seperti itu. Pilihan terakhir.

Boruto mengambil ancang-ancang. Pas sekali, Sumire sedang menonton serial drama komedi yang kini jadi favoritnya. Siap, ok, ucapnya dalam hati. Dia berlari dari tempatnya. Dengan cepat duduk, kemudian membawa Sumire ke pangkuannya. Dipeluknya Sumire yang duduk menyamping.

"Ada apa ini Boruto?" tanya Sumire. Siapa yang tidak terkejut dan kebingungan jika diperlakukan begitu? Boruto bersyukur dalam hati Sumire melupakan kejadian bergairah sebelumnya.

Boruto menggeleng menjawab pertanyaan Sumire. Dia memeluk erat Sumire. Mencium lembut leher jenjang nan putih milik Sumire. Menimbulkan sedikit erangan yang menggoda pertahanan Boruto.

Boruto melontarkan satu keinginan sederhana. "Sumire, aku ingin menciummu."

Sumire mengeluarkan semburat merah di pipi. Dia memutar posisinya agar berhadapan. Kini, wajah Boruto tepat di depan wajahnya. Dia meletakkan telapak tangannya di pipi bergurat itu. Diliriknya jam di dinding. Menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh menit. Kemudian, dia bergumam, "Sepuluh menit lagi." Jika sedang bersama Boruto, waktu begitu tak terasa.

Jika orang lain tahu dia berbuat seperti ini, mungkin sudah dianggap murahan. Namun, entah perasaan apa, dia begitu pasrah saat sudah bersama Boruto. Apakah ini yang disebut cinta buta? Dengan waktu yang sesingkat ini, ternyata perasaan cinta juga dapat bertumbuh dengan pesat.

Pada lima menit pertama, Boruto sungguh teramat menahan nafsunya itu. Dia hanya memandangi wajah cantik jelmaan malaikat dari surga, itu opininya. Mungkin sifat yang diturunkan ayahnya membuat dia sudah tak sabar lagi. Bukan Boruto kalau mempunyai rasa sabar.

Boruto menangkup wajah Sumire. Memejamkan mata yang bernetra indah, begitu pula Sumire seakan tahu pergerakan selanjutnya dari Boruto. Dia menempelkan bibirnya ke bibir lembut Sumire. Mengecupnya perlahan. Kemudian, melumat bibir merah jambu itu. Saling beradu lidah mereka.

Boruto melepas ciuman itu. Lalu, mengecup tiap senti bagian wajah Sumire. Dia memandang bola mata Sumire sedalam mungkin. "Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Hanya padamu. Aku ingin memilikimu seutuhnya."

Sumire menunduk. Tidak berani menatap Boruto. Dia hanya bergumam tak jelas menanggapi ucapan Boruto. Dia menyembunyikan wajahnya di dada Boruto. Sungguh, dia malu sekali. Memang tidak ada kata cinta yang diutarakan. Namun, lebih dalam dari itu, dia merasakan cinta yang tersirat. Benar-benar inikah cinta buta. Cinta yang tiba-tiba pada sosok yang baru ditemuinya beberapa hari. Apakah cinta seaneh itu?

Boruto mengelus puncak kepala Sumire. "Aku terlalu cepat mengungkapkannya, terlalu cepat menginginkanmu menjadi milikku." Sumire menggeleng pelan. Dia bergumam, "Aku juga ingin memilikimu."

Boruto menghela napas lega. Mendengar gumam Sumire seakan menenangkannya. "Kuberi tahu satu hal. Aku tidak pernah memiliki kekasih. Dan Sarada adalah sahabatku semenjak kecil karena orangtua kami pun bersahabat." Sumire hanya mengangguk. Dia tidak mengubah posisinya sedikit pun.

Boruto menggendong Sumire menuju kamarnya. Sembari tertawa kecil. "Tidak lucu bukan jika kita melakukannya di sofa."

"Melakukan apa?" Sumire memukul pelan dada bidang Boruto.

Boruto mencium lagi bibir Sumire. Tiada bosannya dia melakukan igu. "Kau pikir apa?" tanyanya berpura-pura bodoh.

"Tidak tahu," jawab Sumire dengan polos. Boruto tidak tahu Sumire memang polos atau berpura-pura polos.

"Kita akan tidur bersama."

"Bukannya dari kemarin memang begitu?"

"Ini tidur versi lain, Sumire."

.

Ruangan kerja Naruto diisi oleh dua orang. Seorang sudah sedari tadi, dan satu orang lagi baru saja datang.

"Tepat sekali kau datang lagi, Sarada. Setelah kubaca lagi, sepertinya tugas ini agak sulit. Jadi, kupanggilkan satu rekan lagi." Naruto menunjuk sosok tinggi yang familiar bagi Sarada.

"Lama tak jumpa, Sarada." Dia tersenyum manis sekali. Seraya melambaikan tangannya.

Sarada tertawa kecil. "Lama dari mana? Kita tidak bertemu sebulan saja. Kau selalu dikhususkan untuk tugas yang sulit. Jadi, kita jarang bersama, Mitsuki."

"Kapan kita berangkat?"

"Besok sore."

.

Di tempat yang berbeda. Tepatnya ruang tamu, Natsumi, kembaran Sumire diam membisu. Di hadapannya, seseorang yang sudah memasuki usia lanjut menatapnya tajam.

"Apa kau tidak berinisiatif mencari Sumi?" tanya lelaki tua itu dengan tenang. Dia tidak ingin membawa emosi. Jika emosi, anaknya yang satu lagi ikut melarikan diri. Sudah hanguslah dua-duanya.

"Aku sudah mencarinya, tapi tidak kutemukan. Aku sudah meminta tolong temanku. Namun, hasilnya sama saja." Kebohongan kini menjiwai Natsumi. Iri hati sedari dulu terluapkan sekarang. Dia tidak ingin dibandingkan lagi. Cukup Sumire menghilang, hidupnya terasa damai.

Lelaki tua itu, ayah dari keduanya menghela napas. Dia bangkit dari tempatnya dan keluar untuk melanjutkan pekerjaannya. Natsumi mengukir senyum seakan mengejek. Dia tertawa bahagia di hati. Ternyata, menjadi anak semata wayang itu menyenangkan.

.

Pemberitahuan aja, mungkin chapter selanjutnya aku privat. Semakin banyak sider jadi gak semangat. Kalo yang vote dan komen lumayan, gak jadi aku privat lah. Tapi gak tau aku mood moodan orangnya. Maafkan aku ya teman baru bisa up sekarang.
Jangan lupa vote dan komen, saran boleh juga.
Sekian terima kasih kawan!

[5] SanctifiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang