04

333 47 3
                                    

Readers, di mohon apresiasinya ya. Dengan apa? Klik bintang aja kok. Lebih lagi kalau kalian kasih kritik maupun saran. Terima kasih. Happy reading yaa. Love you all :)

Aku tiba di suatu pantai. Pantai ini? Bukankah yang dulu kukunjungi bersama Rai? Tiba-tiba aku melihat ibu berteriak-teriak di bibir pantai. Dia memanggil bibiku yang sedang membawa bayi perempuan. Bayi itu mirip sekali dengan ibuku. Tapi mengapa bibi bisa ada di tengah-tengah lautan? Di pelantaran air laut yang memeluknya, ia membawa bayi yang sedang tertidur nyenyak. Sangat nyenyak sampai tidak ada gerakan sedikitpun dari bayi itu meski ia berada di tengah-tengah lautan. Apakah bayi itu meninggal? Entahlah. Bibiku sangat panik. Meski ia pandai berenang, namun raut wajahnya mengatakan ada sesuatu yang gawat. Sesampainya bibiku di pinggir pantai, ia memberikan bayi itu pada ibuku. Ibuku menangis. Bibiku pun terlihat menyalahkan dirinya sendiri. Siapa bayi itu?

Tiba-tiba seorang perempuan muncul diantara mereka. Ibu dan bibiku bernegosiasi dengan perempuan yang memakai pakaian bangsawan. Setelah itu, kulihat bibiku tertidur. Dan bayi itu menangis. Hei, dia sudah bangun tidur? Akan tetapi, tidak lama kemudian perempuan bangsawan itu hilang dan bibiku terbangun. Aku mencoba untuk memanggil mereka, namun sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku.

Teeeet. Teeeet. Teeeet. Alarm ponselku menyadarkanku dari mimpi yang hampir tiap malam menemani tidurku sejak aku berumur 17 tahun. Yaa, hampir 3 tahun mimpi itu menemani tidurku. Anehnya, aku sama sekali tidak mengerti apa maksud mimpi itu. Aku menyempatkan membaca komik Noblesse agar Rai muncul lagi di hadapanku. Sejak kapan aku senang saat dia muncul?

Suara nenek yang memanggilku dari dapur, membuatku bergegas bangun dan menuju ke dapur. Nenekku sedang memasak nasi goreng. Aromanya sangat sedap di hidungku. "Pagi nek" sapaku

"Pagi juga, cu" sahutnya. Aku duduk di kursi meja makan.

Melihat nenek masih lama memasak, aku berinisiatif membangunkan bibiku. Ya, bibi Rea. Aku sampai di depan kamarnya. Aku mengetuk pintu berkali-kali namun tidak ada jawaban. Aku memegang knop pintu dan membuka pintunya. "Selamat pagi, bibi" aku tersenyum padanya. Aku tidak berani melangkah masuk saat ia menatap tajam padaku. Ia duduk di kasurnya dengan posisi memeluk lututnya sendiri.

"Sadis. Sadis. Sadis" entahlah hanya satu kata yang keluar dari mulutnya saat ada orang berbicara padanya.

Sebelah alisku terangkat, aku tidak mengerti mengapa ia selalu mengucapkan kata itu? "Bibi, ayuk kita makan. Bibi pasti lapar, kan?"

"Sadis. Sadis. Sadis" itu lagi jawabannya. Baiklah aku akan kembali ke dapur. Dan membawakannya makanan. Dia pasti tidak mau keluar kamar. Bagaimanapun dia harus makan sebelum minum obat.

"Gimana bibimu, cu? Mau ke dapur?" tanya nenekku saat aku sampai di dapur. Beliau baru selesai menyiapkan makanan di meja makan.

Aku tersenyum padanya, "Seperti biasa. Beliau hanya menjawab Sadis, sadis, sadis" aku meniru suara bibiku.

Aku mengambil sepiring nasi goreng, melihat itu nenekku berkata, "Jangan lupa berikan obatnya" aku hanya mengangguk pelan.

Aku kembali ke depan kamar bibiku, "Bibi, dimakan ya nasi dan obatnya" ucapku saat masuk ke kamar. Seperti biasa dia tidak akan menjawab. Aku lalu keluar dan menutup pintu.

Aku kembali ke dapur dan makan nasi goreng. Nenekku pun sudah menunggu di kursi makan. "Kuliah jam berapa cu?"

Setelah duduk aku menjawab, "Jam 8 nek." aku mulai menyantap nasi goreng. Sedapnyaaaa.

Tidak terasa habis makanan yang ku lahap. Aku mencuci piringku dan piring nenek. Lalu kembali ke kamar dan bersiap-siap berangkat kuliah. Sat masuk di dalam kamar, kulihat Rai sedang duduk di kursi belajar sambil membaca beberapa buku kuliahku.

I Need Rai (Noblesse)/ HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang