Prolog

408 157 433
                                    

Della menuruni dengan cepat anak tangga di hadapannya. Cepat-cepat Della berlari ke arah ruang bersantai tanpa memperdulikan teriakan Ibunya yang menyuruhnya untuk tidak lari-lari di dalam rumah.

Della menghentakkan kakinya tepat di depan Ditya yang duduk di sofa sedang bermain PS4. Dengan mulut setengah berkerut Della berbicara. "Ka, ponsel Della mana? Pasti diambil kakak kan? Cepet kesiniin!"

Ditya yang merasa diganggu dengan cepat menengok ke kanan ke kiri untuk melihat televisi yang terhalangi oleh badan adiknya itu.

"Ka Ditya!"

Ditya yang sedang berfokus bermain basket di PSnya itu segera menjedanya, sedikit membanting stiknya ke sisi kanan sofa.

"Apa?" tanyanya sedikit kesal.

"Ponsel gue di mana? Pasti diambil lagi 'kan sama kakak? Udah ngaku aja," seru Della kesal sambil menunjuk-nunjuk kakak satu-satunya itu.

"Oh itu," Ditya berhenti sejenak sambil mengetuk-ngetuk dagunya seolah berpikir. "Ada di kamar gue, ambil aja."

Della mendengus, berlari dengan cekatan menaiki tangga. Lagi-lagi Ibunya menasihatinya sambil bergeleng kepala.

"Dasar," katanya.

Della berhenti tepat di depan kamar Ditya, mengumpat saat melihat tulisan 'Ketok Pintu Dulu, Sat'. Lalu menarik kenop pintunya perlahan.

"Ini kamar atau pembuangan sampah? Banyak banget botol-botol kosongnya. Ewww."

Matanya tertuju pada meja belajar dimana ponselnya berada. Cepat-cepat Della mengambil ponselnya, lalu matanya tidak sengaja menangkap botol berisi air kuning berukuran besar yang disimpan di bawah ujung tempat belajar.

Alis Della berkerut, apa itu? Tanpa ragu Della ingin mengambil botol itu. Tapi terhenti kala kakaknya itu membuka pintu sambil berteriak. "Jangan ambil!"

Ditya berlari ke arah meja belajar, mendorong sedikit tubuh Della ke belakang dengan tangannya yang memegang bahu adiknya itu. "Jangan pegang," ucapnya sambil nyengir.

Alis Della semakin berkerut lalu sesuatu itu melintas di otaknya, ia tersenyum menyeringai. "Lo beli minuman yang macem-macem ya?"

"Engga, engga kok, engga." tangan kanannya digoyangkan tepat di muka Della, sama masih dengan cengiran mencurigakan.

Della menatap kakaknya itu tanpa ekspresi. "Oh ya? Kenapa nggak ngasih tau itu apaan?"

"Anu... Eh, itu..." Ditya menurunkan tangan kirinya dari bahu Della kemudian menggaruk tekuknya yang Della rasa tidak gatal.

"Apa ka?" tanya Della semakin penasaran. Tangannya bersedekap di depan dadanya.

"Air... Air kencing gue." Della mengernyit. "Gila lo ka, pantesan pas gue masuk kaya ada bau-bau busuknya gitu."

Ditya yang merasa malu menggaruk tekuknya sekali lagi sambil berkata. "Sorry, sorry. Abisnya pas tadi malem gue takut ke kamar mandi."

Della menggeleng, tidak tahu lagi dengan kakaknya ini yang katanya gentle tapi takut sama makhluk gaib.

"Katanya gentle tapi takut yang begituan." Suara Della terdengar meremehkan harga diri Ditya. Dengan cepat Ditya menjawab. "Maksud gue bukan gue takut yang gituan. Gue cuman takut jatuh, lo tau sendiri kalau malam rumah ini gelap semua."

Della beringsut naik ke kasur, duduk menghadap kakaknya. Lagi-lagi dengan wajah mengejek Della berkata. "Bilang aja kali kalau takut. Ga usah cari alesan, tinggal nyalain lampu. Bereskan."

"Lo nggak tau gue sih kalau malam mata gue katarak total."

"Oh baguslah kalau gitu. Kalau bisa selanjutnya gitu teruslah ka." Ditya tau adiknya itu tidak berbicara sungguh-sungguh. Lalu Della berdiri, berjalan keluar kamar.

"Adik sialan lo. Eh, lusa lo nonton gue basket ya. Awas kalau lo ga dateng."

Della yang baru saja ingin melewati ambang pintu berhenti, berbalik. "Emang lo bakal tanding lagi?"

Ditya mengangguk. "Tanding persahabatan sih. Bukan tanding kayak gimana-gimana."

Della mengangguk. "Entar gue ajak Loi sama Vania deh." Della berbalik, berjalan menuju kamarnya.

Della menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, menatap plafon kamar yang bercat putih. Teleponnya sudah dihempaskan ke bagian kiri badannya bersama tubuhnya tadi.

Setelah membuang napas sementara, Della mengambil teleponnya lalu menyalakan aplikasi yang biasa dia pakai untuk mengirim pesan kepada teman-temannya.

Della : Lusa temenin gue nonton tanding basket ka Ditya.

Vania : Gue juga ada rencana mau nonton sih.

Della : Kenapa lo baru bilang sekarang?

Vania : Gue nunggu ada yang ngajak dulu hehe. Sorry deh.

Della : Iya. Asalkan gue ada temen disana.

Della : Loi kemana sih?

Vania : Engga tau gue juga.

Della : Dia ikut ga sih? X GAGAL X

Della menautkan kedua alisnya, pesan terakhir yang ingin dikirimnya memunculkan notifikasi gagal. Della tau ini semua gara-gara siapa.

Della mendecak kesal sambil bangun dari tidurnya. "Ka Ditya, lo habisin kuota gue ya!" serunya sambil berteriak.

"Gue minjem tadi buat download game," jawab Ditya yang sama-sama berteriak.

"Ih ngeselin lo jadi abang," Della berteriak seraya menghempaskan tubuhnya ke kasur lalu menggerak-gerakan semua badannya, kesal.

"Anak-anak, jangan teriak-teriak! Malu di denger tetangga lho!"

Sekarang Ibunya yang berteriak, sama-sama memalukan keluarganya sendiri.

Dan semuanya berawal dari hari ini.

Author Note:
Ini cerita pertamaku di wattpad. Mungkin kalau ada salah atau apa bisa komen ya, jangan lupa untuk vote cerita ini.
Sekian.

Land Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang