[5] : Yang Sebenarnya

71 25 51
                                    

Jangan lupa untuk VOTE sebelum baca ya para kawan wattpad!

***

Untuk beberapa alasan Ditya membenci keadaan ini.

Pertama, Ditya benci untuk berbohong; Kedua, Ditya benci berada dalam keadaan canggung seperti ini, apalagi ini bersama adiknya.

Tapi sekarang mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Della. Setelah semua keheningan menyelimuti mereka—demi apapun mereka tidak pernah secanggung ini sebelumnya, Ditya mulai bicara. Baik, dia akan jujur.

Mereka tengah duduk bersebelahan di kasur milik Ditya. Ditya berbicara, "Gue akan jujur sekarang."

Della yang sebelumnya menatap lantai pualam sekarang mendongak.

"Dell, Rafa sepertinya suka sama lo."

Ditya tau Della bingung dengan ucapannya yang terlihat jelas dari iris matanya yang coklat.

Untuk tidak membuat ini sulit Ditya tersenyum, menutupi segala keresahan yang ada di benaknya. "Katanya lo cantik, terus dia bilang lo mirip Emma Watson."

Della masih menatap Ditya dengan bingung. Dahinya sedikit berkerut.

"Setelah dia mengatakan itu gue ketawa. Gue suka lucu aja lo selalu di miripin sama Emma Watson."

Ditya mengamati wajah Della dengan seksama, kepala bergerak ke kanan ke kiri. "Padahal, menurut gue, lo itu enggak mirip sama sekali lho! Padahal menurut gue lo itu kurang cantik."

Ditya terkekeh geli sewaktu melihat muka Della berubah tertekuk, bibirnya maju lima senti yang membuat Ditya semakin terkekeh.

"Ah lo jadi kakak gini-gini amat sih. Bukannya dipuji, malah dihina." Della berbicara seraya memiringkan badannya ke arah lain.

Ditya memegang bahu Della agar menghadapnya. Ditya tersenyum. "Tadi bercanda kok."

Mendapati Della yang masih cemberut, Tangannya yang tadi berada di pundak Della beralih ke muka Della, jari jempolnya menaikkan ujung bibir Della. "Senyum dong. Cantiknya entar luntur, terus nanti cowok pada enggak mau lagi sama lo."

"Tau ah. Malesin sih." Della mulai tersenyum di ujung kalimatnya.

"Gitu dong senyun, 'kan jadi cantik, jadi makin mirip Emma Watson."

Ditya terkekeh geli. Della mendengus seraya memukul bahu Ditya yang tampaknya tidak memiliki beban sama sekali, yang tampak tidak memikul masalah. Tapi Della yakin, kakaknya itu pasti memiliki segala beban yang ditutupi dengan apik oleh tingkah konyolnya.

"Lo tinggal hitung hari lagi UN. Mending lo belajar dari sekarang. Jangan BNS, Belajar Ngebut Semalam."

Lagi-lagi Della mendengus. "Emang lo apa yang BNS, atau apalah itu namanya. Gue mah selalu belajar dua hari sebelumnya, makanya nilainya memuaskan. Nah, kalau lo, Kak," Della geleng-geleng sebelum melanjutkan, "belajar aja enggak, apalagi BNS."

Ditya mendecik.

"Udah, lo sana ah belajar. Jangan mikirin perasaan lo."

Della berdiri sebelum Ditya mendorong tubuhnya agar pergi dari kamarnya.

Della menghela nafas saat Ditya berteriak. "Kalau mau masuk kamar gue liat dulu tulisan di depan pintu!"

Della tidak sanggup lagi untuk memutar mata.

***

Della tidak bisa fokus. Ia mengetuk-ngetuk meja belajarnya dengan pulpen, sedangkan tangan satunya memangku wajahnya di atas meja. Buku-buku fisika bertebaran di atas meja. Baru sesekali Della menggores tinta di atas kertas putih buku belajarnya sebelum rasanya semangat belajarnya meredup.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Land Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang