[4] : Apa Yang Sebenarnya Terjadi?

136 65 145
                                    

"Gila bro, itu muka atau dempul tembok?" celetuk Jovi bertepatan saat Rafa duduk di sebelah Jovi, teman sebangku sekaligus sahabatnya.

Rafa diam.

Jovi mendelik ke arah Ditya yang duduk di sebelah Rafa—berbeda meja tapi berada di sebelah Rafa maksudnya. Ditya mengangkat alis seolah bertanya. Jovi menggeleng, tidak tahu.

Rafa menangkup kepala, membuang nafas kasar sesamar mungkin. Tangannya merambat ke atas, menjambak rambutnya. Sebisa mungkin Rafa mengatur nafasnya yang bergejolak seperti jantungnya.

Setelah bisa mengatur nafasnya yang memburu, lantas Ia mengangkat wajah menengok ke kanan. Tepatnya ke arah Ditya.

"Dit, gue ... Gue kayanya suka—" Rafa mulai bersuara.

Ditya yang sedang mengerjakan soal—yang diberikan oleh Bu Rini untuk semua murid—seketika terkesiap. Tanpa sadar tangannya melemparkan pulpennya ke arah depan. Tepat membentur setengah bola yang dibungkus oleh kain.

Ditya meringis.

Teriakan kesakitan memenuhi atmosfer kelas IPS XI B. Bu Rini mengusap perut buncitnya yang hampir menempuh umur 8 bulan dengan punggung menonjol ke depan sambil berteriak, "Aduh... Nak, tahan nak. Tahan." Begitulah teriaknya berulang kali sampai anak-anak perempuan mulai panik menghampiri Bu Rini.

"Ald, lo ga liat Bu Rini kesakitan gini? Koar Jenild seraya menuntun Bu Rini ke kursinya.

"Ya mana taulah kalau gue tiba-tiba refleks ngelempar,... sayang." Nada Ditya yang tadinya menyala tiba-tiba meredup tatkala melihat Jenild yang mulai melotot marah, berjalan ke arah tempat duduknya yang membuat Ditya bergidik ngeri membayangkan tabokkan Jenild yang super maut.

"Lo kalau mau reflek ya sadar dulu lah." Jenild meniup poninya yang menurut Ditya sangat tidak gaya.

Ditya bangkit, emosinya meluap tapi mau gimanapun harus ditahan. Masalahnya ini adu ngomongnya sama cewek, kalau sesama spesies sih bisa saja Ditya langsung menonjok rahangnya.

"Jadi lo maunya apa sekarang?" tanya Ditya jengkel.

"Lo harusnya jadi cowok tuh minta maaf sama Bu Rini. Bukannya diam, gak ngelakuin sesuatu yang bisa buat Bu Rini sedikit tenang. Lo gak ngerti sih rasanya jadi cewek." Jenild bersungut marah.

"Bu, maaf Bu, saya tadi refleks soalnya tadi saya lagi ngerjain soal, terus tiba-tiba dipanggil sama Rafa. Ya gimana gak kagetlah, Bu."

Bu Rini memanggut-manggut kemudian melanjutkan teriakannya, yang membuat sebagian murid perempuan yang menenangkan Bu Rini ikut-ikutan mengusap perut buncitnya sambil berseru mantera Bu Rini.

"Lo niat gak sih sebenarnya?" Jenild bersedekap.

Rafa yang mendengar keberisikkan hanya mampu kembali menangkup kepala.

***

Pagi berganti siang. Della menyapu dari ujung ke ujung, dari belakang ke depan tanpa memperdulikan celetukan Keano yang santai duduk di atas meja barisan depan.

"Yang situ belum bersih, mba." Tunjuk Keano tepat di depan meja guru.

Della mengerling ke arah Keano sekilas, mencebikkan bibir. Menyapu daerah yang ditunjuk Keano dengan sisa tenaga yang ada.

Land Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang