[3] : Sahabat Cowok

186 83 205
                                    

Dari keempat orang yang duduk di meja makan, hanya suara aduan sendok dan garpu yang saling menyahut, seolah mereka menyalurkan kalimat-kalimat orang yang memakainya. Melihat keadaan yang seperti ini membuat Gerry—Ayah Della dan Ditya—membuka percakapan, memperbaiki atmosfer yang terjadi saat ini.

"Gimana sekolah kalian?"

Della dan Ditya memberhentikan aktivitas aduan sendok dan garpunya, menyimpan di antara piring.

"Baik, Pah. Kemarin ulangan matematika Della dapat nilai 100," seru Della antusias.

Mata Gerry beralih ke Ditya, kemudian mengangkat alis. "Kalau kamu, Ditya?" Aura tegas Gerry emang tidak main-main sejak dulu.

Ditya nyegir. "Baik juga, Pah."

Gerry tersenyum jahil. "Nilai IPA masih 40, gak?" Juga, jangan lupa aura jahilnya.

Ditya menggaruk tekuk sejenak sebelum menjawab, "Itu mah udah kodratnya dari sana. Otaknya cuman mampu segitu."

Gerry menggeleng, sudah tahu Ditya akan menjawab seperti itu, sudah biasa. "Kamu itu. Liat dong adik kamu yang pinter ini. Bisanya pacaran terus kamu ini."

Yang diceramahi seperti itu membuat Ditya menengok, Della yang ditatap kakaknya dengan ekspresi datar bisa-bisanya memeletkan lidah. Ditya hanya mampu menghembuskan napas.

"Emangnya Ditya pacaran sama siapa?"

"Sama Ukulele," timpal Velly seraya mengangkat piring kotor.

"Ih, itukan udah menyatu sama jiwa Ditya," Ditya mengelak.

"Kalau nilai IPA kamu nggak bisa sampai target KKM, kamu nggak boleh beli ukulele lagi."

Mendengar sebaris kalimat yang dikeluarkan Ayahnya membuat bahu Ditya merosot. Kesempatannya untuk membeli ukulele keluaran terbaru sirna sudah. Mengingat begitu berharganya koleksi gitar kecil tersebut.

"Ditya, Della. Sudah jam tujuh kurang lima belas. Kapan kalian pergi?" celoteh Venny yang mengisi atmosfer rumah.

***

"Dell, lo udah PR IPA buat persiapan UN?"

Della menoleh saat dipanggil oleh Keano yang baru saja masuk ke kelas. Keano yang notabenenya sebagai sahabat dan juga teman sebangku Della di kelas 9. Persahabatannya terjalin erat saat mereka berada di pertengahan kelas 3 SD. Banyak jungkat-jungkit dalam tali persahabatan dengan cowo berkulit kuning itu. Hal-hal yang seperti itu membuat Della selalu ingin tertawa saat mengingatnya, kekanak-kanakan.

"Udah. Coba gue tebak, lo pingin nyontek lagi? Iya 'kan?"

Keano tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang menurut Della ... Manis. Della tidak ingin mengakuinya, tapi terkadang menurutnya terlihat sangat manis.

Dengan mata berbinar, Ia meminta.

"Minjem dong, gue lupa kemarin. Keasyikan main game."

Della yang sibuk mengeluarkan buku-buku pelajaran ketiga sama sekali tidak menoleh. Melihat sikap Della seperti itu membuat Keano menghampiri Della dan langsung menggelayut manja di kursi duduknya.

"Boleh minjem 'kan? Lo nggak liat muka gue kusut gini?"

Della tetap pada aktivitasnya.

"Ayolah," Keano merajuk, "Lo makin cantik deh hari ini. Makin hari, makin cantik aja lo di mata gue."

Della membelalak kemudian seperkian detik mengontrol air mukanya, menahan diri agar tidak merona merah.

"Lo blushing, jangan ditutup-tutupin."

Land Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang