#4. A Scar

3.9K 409 41
                                    

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.


Hari-hari tanpa Taehyung adalah sederet waktu membosankan nan monoton. Itulah kesimpulan yang Jimin peroleh selama menjalani masa-masa SMP di asrama, dan pemikiran tersebut masih belum berubah hingga sekarang.

Sesekali Jimin menemukan kesenangannya sendiri dan melupakan eksistensi Kim Taehyung, tapi sebagian banyak dia mengingat lebih dari dirinya mengingat sosok sang ayah. Sekalipun Taehyung tidak secerewet atau seriang dahulu, Jimin masih tidak kehilangan ketertarikannya.

Setelah percakapan terakhir dengan Taehyung di tengah hujan sore pada penghujung musim semi kala itu, Jimin kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri di hadapan Taehyung lagi. Rasa canggungnya berlipat ganda, dan dia tidak sanggup menatap wajah Taehyung, sedang  dilihatnya Taehyung tampak tidak terguncang sama sekali.

Kim Taehyung dan wajah datarnya serta segenap kebisuannya, masih sama seperti biasa.

Jimin tidak berhenti memikirkan kata-katanya sendiri kala itu, sampai-sampai dia tidak mendengarkan ketua kelasnya yang berteriak keras di depan—mengumumkan bahwa sang guru, Kim Seokjin, mungkin agak terlambat hari itu dan mereka harus mengerjakan beberapa tugas di lembar-lembar buku cetak.

Pemuda yang satu itu berulang menengok bangku Taehyung dan tak henti mempertanyakan. Kiranya kemana Taehyung hari ini? Apa mungkin membolos lagi?

Sekitar satu jam kemudian ketua kelas kembali mengumumkan, bahwa sang guru yang dinanti absen mengajar dan akan digantikan oleh guru lain. Beberapa anak yang tidak mengerjakan tugas bersorak penuh kemenangan, sementara anak-anak perempuan mendesah kecewa—sebagian besar dari mereka menanti-nanti pelajaran hanya untuk memandangi wajah tampan si guru magang.

Jimin tidak termasuk keduanya. Karena, berbicara tentang absensi, hari itu Taehyung juga tidak datang. Tidak saat istirahat, jam pelajaran ke lima, ataupun terakhir.

Saat akhirnya Jimin mendatangi rumah Taehyung dan berdiri mematung di depan pintu, dia mengumpulkan seluruh keraguannya, menelan ludah hambar dan menelan kebimbangannya hanya untuk membunyikan bel pintu. Pada akhirnya tidak punya pilihan. Cepat atau lambat, mereka harus berbicara. Entah siapa yang berubah dan siapa yang bersalah, Jimin tidak ingin kehilangan pertemanannya hanya karena hal tak jelas. Maka dari itu dia tidak lagi berpikir begitu menekan bel pintu dua kali.

“Tae! Ini aku!” Jimin berseru dan mendekatkan wajahnya pada kamera kecil di pintu  yang menghubungkan dengan intercom di dalam. Dia memasang wajah tegas lalu melipat tangan di dada seolah bersiap memaki—kalau-kalau Taehyung mungkin nanti mengusirnya—dan bersiap memaki Taehyung.

Tapi pintu terbuka dan sosok lain—yang amat tidak Jimin duga—muncul.

“Park Jimin? Eum ... hai.”

Already | BTS JinV - NamV - MinV [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang