Bab 2 - Craco

6 0 0
                                    

Karena kita diciptakan untuk menerima perbedaan.
Dan kita bersama karena kita tak pernah berakhir.
-----

"Aku mau pulang dulu," kata Avi kepada Karen di tengah ramainya sorak sorai para supporter sepak bola sore itu.

"APA??" tanya Karen mencondongkan tubuhnya ke Avi.

"Pulang..." sahut Avi memperkeras suaranya.

"HAH?"

"PULANG...!!" Avi berusaha keras memperjelas suaranya agar bisa secepatnya pergi dari tempat itu.

"ILANG?"

"P-U-L-A-N-G...!!!"

"ULANG?"

"Obat telinga emang mahal!!" dengus Avi kesal dan menyambar tasnya.

Karen tertawa melihat Avi. Cuek, ia kembali memusatkan perhatian pada pertandingan sepak bola antarsekolah sore itu. Tim sepak bola sekolahnya melawan SMA sebelah. Di sekolah mereka, tim sepak bola menjadi tim paling populer. Tim basket? Kalah! Anggota-anggotanya, sudah jelas, menjadi incaran cewek-cewek. Untuk masuk ke dalam tim sepak bola sekolah memang lumayan sulit, karena tim sepak bola mereka beberapa tahun terakhir selalu menjadi juara dalam pertandingan daerah provinsi. Maka dari itu, yang bisa masuk ke dalam tim adalah mereka yang benar-benar handal.

"HANIF! HANIF! AYO SEMANGAT! WE LOVE YOU!!!"

"Kalau teriak jangan di DEKAT KUPING aku, dong!" Karen melotot ke arah Lala yang berdiri di sebelahnya. Lala tidak menggubris dan tetap teriak-teriak heboh.

Hanif, kapten tim sepak bola sekolah, sangat populer di sekolah mereka, bahkan di sekolah tetangga. Tinggi, tegap, kulit sawo matang khas atlet, dan yang pasti, tampan. Sayangnya, seperti kebanyakan cowok cakep lainnya, Hanif itu: playboy! Dan seperti kebanyakan cowok playboy, tetap saja banyak cewek yang mengejarnya, tidak peduli apakah Hanif punya pacar atau tidak, apakah dia peduli sama mereka atau tidak, apakah dia menghargai mereka atau tidak, pokoknya mereka tetap mengidolakan Hanif.

Akhirnya pertandingan selesai. SMA mereka unggul, 3-1. Supporter cewek heboh, termasuk Karen dan Lala. Hanif hanya tersenyum sebentar ke arah supporter, kemudian berlalu ke ruang ganti. Mereka mendesah kecewa ketika Hanif pergi. Para supporter kemudian juga beranjak pergi meninggalkan stadion, diiringi sorakan-sorakan supporter dari kedua sekolah.

"Pulang, yuk. Laper nih," Lala mencolek lengan Karen yang masih belum beranjak dari bangku penonton.

"Aduh, jangan colek-colek dong. Geli, nih. Dasar kebiasaan," sahut Karen mengusap-usap lengannya.

"Hehe, sorry. Udah ah, ayo pulang, kasian Avi sendirian," kata Lala menarik Karen keluar berdesakan dengan penonton lain di pintu keluar stadion.

Adzan maghrib terdengar jelas dari Masjid Agung yang tidak jauh dari kompleks sekolah, yang juga tidak jauh dari letak stadion daerah kabupaten. Lala dan Karen menyeberangi halaman stadion dengan sedikit terburu. Kontrakan mereka tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya lebih pantas disebut rumah kos. Rumah yang mereka tempati saat ini terdiri atas dua lantai, lantai dasar terdiri atas dua rumah yang berdampingan, rumah yang satu dihuni pemilik rumah dan sebelahnya ditempati empat orang perempuan, karyawan sebuah hotel tidak jauh dari tempat mereka tinggal, dan lantai dua yang berupa bangunan yang lebih kecil dihuni oleh mereka-Avi, Lala, dan Karen. Karen dan Lala yang pertama menempati rumah itu sejak kelas X. Kemudian pada tiga bulan berikutnya Avi bergabung karena tidak betah tinggal di kos lamanya.

Rumah kontrakan mereka tidak terlalu besar, terdiri atas dua kamar tidur-satu kamar tidur utama yang lebih besar daripada kamar yang satu, ditempati berdua oleh Karen dan Lala karena mereka penakut, satu kamar mandi, sebuah dapur kecil dan ruang serbaguna, yang digunakan sebagai ruang tamu, ruang duduk, ruang santai, dan terkadang sebagai tempat untuk belajar bersama. Agar lebih keren, kadang mereka menyebut rumah kontrakan mereka sebagai sebuah flat.

When You Tell MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang