Ketika cinta datang mengetuk pintu hati
Malu melingkupi diri
Angkuh membentengi nurani
Ego berusaha menghindari
Namun sungguh, ia tak mampu berpaling
-----Avi melangkah tergesa-gesa menuju ruang OSIS. Rambut pendeknya basah oleh keringat. Sebuah jepit rambut berbentuk buah strawberri terlihat manis menjepit poni. Tangan kanannya mendekap sebuah laptop putih, sementara tangan kirinya menenteng tas tangan penuh buku. Ia terlambat mengikuti rapat siang ini karena memang hari ini adalah jadwalnya mengikuti ekstrakurikuler pencak silat dan baru selesai pukul lima sore.
Ruang OSIS sudah sepi. Avi masuk sambil terengah-engah. Ternyata hanya tinggal Gilang, sang ketua OSIS, yang masih berada dalam ruangan itu.
"Huh, aku benar-benar terlambat ya?" tanya Avi setelah meletakkan barang-barangnya di salah satu meja di tempat itu.
"Bukan terlambat lagi namanya," sahut Gilang sinis, "Tapi tidak hadir."
"Maaf, tapi kamu tahu kan, hari ini aku ada jadwal ekskul?" Avi membela diri.
Gilang hanya diam. Ia fokus pada layar komputer di depannya. Entah apa yang sedang diketiknya.
"Bikin apa?" tanya Avi sambil membetulkan kacamatanya yang agak miring.
"Proposal pentas seni," jawabnya singkat.
"Bukannya itu tugas sekretaris?" tanya Avi tak habis pikir.
Gilang tidak menyahut.
"Emang Tania kenapa, sih? Sakit? Tadi aku ketemu dia di kantin," tanya Avi lagi menanyakan keadaan sang sekretaris.
Hening sebentar.
"Dia nggak mau buat," sahut Gilang acuh.
"Kenapa bisa begitu?"
"Dia nggak setuju kita ngadain pentas seni."
Avi tertegun memandang Gilang yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan itu. Sedetik kemudian ia sadar sedang ada kerenggangan di organisasi mereka yang sepertinya tidak ada habisnya. Keegoisan Gilang sering menjadi penyebab masalah di antara mereka, dan Tania juga lebih sering menghindar dalam menghadapi keegoisan Gilang. Mereka sama-sama keras kepala.
"Dan kamu tetep keukeuh ngadain pentas seni sementara anggota kamu ada yang nggak mendukung?"
"Cuma dia yang nggak mau membantu, itu nggak masalah. Toh banyak pengurus OSIS lain yang mau membantu," sahut Gilang sinis.
"Jadi itu tadi hasil rapatnya?" tanya Avi.
"Ya. Baca aja di catatan hasil rapat," kata Gilang menunjuk buka notes hijau di samping komputernya.
Avi geleng-geleng kepala.
"Aku sama sekali nggak ngerti bagaimana jalan pikiranmu," katanya kepada Gilang. "Kenapa kamu nggak peduli sama anggotamu sampai-sampai dia mogok kerja? Ini kegiatan terakhir kita. Aku mau semuanya ikut berpartisipasi. Bukannya ini era demokrasi? Harusnya kamu menghargai pendapatnya-"
"Tentu saja kamu nggak tau apa yang ada dalam pikiranku karena kamu bukan mind reader," potong Gilang. "Dan-perlu kamu catat baik-baik-aku menghargai pendapatnya. Hanya dia yang nggak setuju sama acara ini. Yang lain, hanya diam, dan itu berarti setuju."
"Bukan," Avi bangkit dari duduknya dan berdiri di samping Gilang yang masih mengetik. "Bukan berarti mereka setuju dengan keputusanmu. Tapi mereka takut sama kamu."
"Emang takut kenapa," Gilang menghentikan pekerjaannya dan memandang Avi dengan ekspresi datar. "Aku tidak pernah memaksa mereka melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan-"
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Tell Me
Teen FictionJika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu - Kahlil Gibran ----- Itulah yang coba dipahami oleh ketiga sahabat ini - Avi, Karen, dan Yulia. Hidup dalam satu kontrakan yang sama, secara tidak langsung mereka menjadi s...