Bab 8 - Tuhan Selalu Punya Cara

13 1 0
                                    

Tuhan memang selalu punya cara.

-----

"Aku masih di depan rental... Iya... Apa?... Astaga, terus aku gimana?... Oh, dear," Karen menutup ponselnya dengan menghembuskan napas keras-keras, sambil menatap hujan yang turun dengan deras.

Sudah sepuluh menit ia berdiri di depan tempat rental komik. Hujan baru saja turun, dan kelihatannya sia-sia menunggunya reda. Sedangkan Lala tidak bisa menjemputnya karena masih latihan vokal dan Avi sedari tadi tidak menjawab teleponnya. Ia baru saja memutuskan untuk pulang menerobos hujan ketika matanya menangkap seorang anak laki-laki kecil berdiri di tengah jalan-tepatnya di garis marka-sudah setengah jalan hendak menyeberang. Karen mengenalinya sebagai salah satu dari pengamen cilik yang kemarin bersama Hanif.

Tanpa sadar Karen mengamatinya. Bocah itu membawa sebuah payung hitam yang kebesaran-melihat postur badannya yang kecil kurus-dengan tangan kanan. Tangan kirinya menenteng sebuah tas plastik hitam kecil. Tiba-tiba-Karen tidak sadar betul bagaimana kejadiannya-tubuh bocah itu terpental dan payungnya terlempar sampai ke trotoar. Sebuah mobil menyerempet bocah itu!

Karen menjerit tertahan. Secepat kilat ia berlari ke jalan untuk menolong bocah itu. Tidak peduli hujan yang semakin deras mengguyur tubuhnya-padahal sejak tadi ia enggan berbasah-basah. Lalu lintas yang tidak terlalu padat sore itu mulai macet. Orang-orang mulai mengerubung. Mereka membawa bocah cilik yang pingsan itu ke pinggir jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan.

Karen mendekati bocah malang yang kini terkulai tak berdaya. Darah merembes dari dahi dan bibirnya, tangan dan kakinya lecet. Bibirnya pucat dan membiru kedinginan. Karen berjongkok, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian ia menyadari sesuatu.

"Pak, mobil yang nabrak adik ini tadi di mana?" tanya Karen pada orang-orang yang berkerumun di situ.

Orang-orang menoleh ke arah jalan, mencari-cari mobil yang tadi menabrak anak itu. Tapi mereka tidak melihatnya. Seorang lak-laki paruh baya menjawab pertanyaan Karen.

"Mobilnya nggak ada, Dik. Ini tabrak lari..."

Karen menggeram kesal. Ia menatap tubuh di hadapannya dengan putus asa.

"Lalu bagaimana ini, Pak?" Ia hampir menangis.

"Tenang, Dik. Kita cari kendaraan dulu buat ke rumah sakit," jawab bapak itu lagi.

Tiba-tiba seseorang menyeruak di antara kerumunan. Tanpa ba-bi-bu ia mendekati bocah yang tengah tak sadarkan diri itu, menggendongnya dan membawanya ke mobilnya. Ia meminta tolong pada orang yang ada di situ untuk membukakan pintu belakang mobilnya. Sebelum menghilang di balik pintu mobilnya, ia menoleh kepada Karen yang berdiri menatapnya dengan bingung.

"Ayo cepet, kamu ngapain berdiri di situ!" serunya.

Karen menoleh ke kiri, kanan, belakang. Aku maksudnya? pikirnya bingung. Ia menatap laki-laki itu dengan pandangan bertanya.

Laki-laki itu mendesah tidak sabar. "Ayo," serunya sekali lagi sambil mengangguk.

Karen-meskipun dengan ragu-bergegas masuk ke dalam mobil di samping kemudi. Sebelum mereka melesat pergi, ia melihat tas plastik yang tadi dibawa bocah yang kini di belakangnya tercecer di tengah jalan. Isinya berhamburan keluar. Hatinya miris ketika melihat apa yang ada di dalam bungkusan itu: nasi. Anak ini baru mau makan, desahnya. Ia melihat ke belakang, memastikan bocah tadi terbaring dengan baik di jok belakang. Kemudian ia menatap orang yang kini tengah mengemudi dengan-jujur-ngawur. Orang itu panik, Karen tahu. Tetapi ia tetap terlihat tenang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When You Tell MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang