Prolog

328 31 17
                                    


"Ya! Hye-Rin-a! Jangan cepat-cepat! Kau ini bukannya sedang sakit, kenapa bisa jalan secepat itu?!" teriak Song Yoon-Si.

"Kalau kau berisik kita tidak akan cepat sampai!" sentakku kesal.

Sungguh bukan ide bagus untuk keluar rumah dalam keadaan flu pagi-pagi begini. Apalagi di luar salju masih turun meskipun tipis-tipis. Ah ya, satu lagi, mengajak Yoon-Si turut serta bersamaku juga menambah daftar 'bukan ide bagus' yang kusebutkan tadi.

Aku tidak mengajaknya, dia yang memaksa ikut. Alasannya sangat manis sekali. Katanya sebagai sahabat yang baik ia tidak ingin aku kenapa-kenapa karena nekat pergi sendirian saat kondisi tubuhku sedang kompak dengan cuaca Seoul. Sangat buruk.

Seoul sedang diselimuti salju tebal. Atap-atap bangunan, jalan raya, taman bermain, pepohonan, semua menjadi putih. Kontras dengan langit yang sedang gelap karena matahari terlambat muncul.

"Park Hye-Rin!" seru Yoon-Si sekali lagi. "Tahu begini aku tidak ikut," keluhnya untuk yang ke-sejuta kalinya.

Terserah apa yang dia bilang. Lihat, sekarang dia malah merepotkanku. Padahal aku sedang buru-buru.

Namun bunyi suara napas Yoon-Si yang ternegah-engah membuatku tidak tega. Aku menghentikan langkah dan membalikkan badan untuk menunggu Yoon-Si yang rupanya masih tertinggal beberapa langkah di belakangku. Aish, benar-benar lambat sekali.

"Cepat sedikit, Yoon-Si-ya!" protesku ketika Yoon-Si malah berhenti dan membungkuk untuk membetulkan tali sepatu bootnya.

Sambil menunggu Yoon-Si yang sedang berjalan dengan kecepatan siput kena anemia itu, aku mengatur kembali syalku yang terlilit oleh tali tas ransel, karena leherku hampir tercekik karenanya.

Ngomong-ngomong, di dalam ranselku ini ada sebuah radio untuk kubawa ke suatu tempat. Dan tidak seperti yang kuduga, ternyata radio ini lumayan berat.

"Hye-Rin-a, kau bilang tempatnya tidak jauh. Tapi sudah sejak tadi kita berjalan tidak sampai-sampai juga. Tahu begini lebih baik kita naik mobil saja,"

Aku mulai gemas dengan gadis ini. Kalau saja dia bukan sahabat baikku, sudah kutimbun dia dengan tumpukan salju di pinggir jalan biar diangkut sekalian oleh mobil pembersih salju. Nah, sekarang aku jadi terdengar jahat sekali gara-gara dia.

"Kau lihat itu," kataku sambil mengarahkan telunjukku ke jalan raya Insadong di depan kami.

Yoon-Si menoleh ke arah yang kumaksud. Timbunan salju yang masih menumpuk membuat lalu lintas jalan raya Insadong terhambat. Semua kendaraan berjalan merayap dan hampir sama lambatnya dengan kecepatan berjalan Yoon-Si.

"Kita akan terjebak salju kalau naik mobil. Lalu lintas sangat macet dan kacau. Lagipula sudah kubilang kau tidak perlu ikut tapi kau memaksa."

"Aku kan khawatir padamu." Mulut Yoon-Si mengerucut karena omelanku. Kemudian ia bergumam tidak jelas tapi aku tak lagi memedulikannya dan lanjut berjalan.

Sebenarnya aku teharu dengan perhatian Yoon-Si. Aku memang sedang demam dan flu. Bahkan kepalaku berat sekali sejak tadi. Tapi kurasa aku akan baik-baik saja.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling jalanan yang kulewati. Kami sudah sampai di distrik Insadong, berarti sudah sekitar dua puluh menit aku dan Yoon-Si berjalan kaki dari apartemen kami. Pantas saja dia sudah mengeluh kecapekan.

Kukeluarkan ponsel dari saku coat-ku untuk memeriksa jam. Sudah hampir pukul sepuluh pagi dengan suhu -5°C. Pantas saja aku menggigil. Setelah itu aku membuka aplikasi peta online untuk memastikan bahwa aku tidak tersesat. Semalam aku sudah mempelajarinya. Setelah memastikan bahwa arah yang kulewati sudah benar, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku.

RADIO'S HEART (Memento Series #4) SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang