DUA

150 19 2
                                    

"Selesai!" seru Hye-Rin girang.

Kedua tangannya terangkat. Gadis itu menguap lebar sambil meregangkan otot-otot punggungnya yang tegang setelah seharian sibuk menata kamar barunya.

"Hye-Rin-a, kau sepertinya memang berniat mengambil alih apartemenku dengan membawa barang-barang sebanyak ini ya? Lihat, bahkan barangku saja tidak sebanyak ini," protes Yoon-Si. Tangan kanannya berkacak pinggang sementara tangan kirinya menunjuk-nunjuk sekeliling kamar Hye-Rin yang sudah tertata rapi.

Hye-Rin terkekeh mendengar keluhan sahabatnya itu. Ia tahu celetukan itu hanya bercanda.

"Kalau berlagak seperti itu, kau mirip ahjumma galak pemilik kamar sewamu dulu," ledek Hye-Rin.

Hye-Rin dan Yoon-Si bersahabat sejak tahun pertama mereka di Universitas Busan. Namun keduanya lantas jarang bertemu sejak Yoon-Si kembali ke Seoul tak lama setelah keduanya lulus dari bangku kuliah.

Maka ketika mendengar kabar Hye-Rin akan pindah ke Seoul, Yoon-Si dengan sangat antusias memaksa gadis itu untuk tinggal bersama di apartemennya daripada harus menyewa apartemen sendiri. Lagipula apartemen Yoon-Si terlalu besar untuk ditinggali sendirian. Ia bahkan menyuruh pegawai-pegawai Eomma-nya―yang seorang pemilik butik terkenal di Seoul― untuk memindahkan kasur, lemari serta meja belajar lama milik Yoon-Si dari rumahnya untuk mengisi kamar Hye-Rin. Ruangan mungil yang tadinya digunakan Yoon-Si sebagai studio lukis serabutan kini ia relakan untuk ditempati oleh Hye-Rin.

"Jangan harap kau bisa seenaknya. Kau harus mengikuti peraturan karena ini apartemenku," lanjut Yoon-Si meniru nada bicara ahjumma galak yang dimaksudkan Hye-Rin.

Hye-Rin terkekeh, ia kemudian menghampiri Yoon-Si dengan kedua tangannya yang terentang hendak memeluk Yoon-Si. "Yoon-Si sayang, bukankah kau senang kita berdua bisa bersama-sama lagi. Kemarilah!" goda Hye-Rin.

"Ya! Jangan dekat-dekat!" Yoon-Si berjingkat menghindari Hye-Rin. Ia paling jengah jika Hye-Rin mulai menggodanya dengan cara seperti itu.

Hye-Rin naik ke atas kasur dan menarik tangan Yoon-Si untuk mengikutinya. Keduanya lalu melompat-lompat di atas kasur yang empuk, memantul-mantulkan diri dan bersorak-sorak seperti bocah. Kedua sahabat itu juga melakukan perang bantal, saling memukul sambil tertawa-tawa sampai kelelahan dan terkapar di kasur.

"Yoon-Si-ya, belum apa-apa aku sudah merindukan appa dan halmeoni-ku," ujar Hye-Rin sambil menerawang langit-langit kamar.

"Jangan seperti manusia purba, kau kan tinggal meneleponnya saja," ketus Yoon-Si.

"Appa-ku tidak suka ditelepon."

"Wae?"

Hye-Rin lalu menceritakan kejadian tadi sore ketika ia baru saja sampai di Seoul setelah perjalanan selama 3,5 jam menggunakan kereta dari Busan.

"Appa aku baru saja sampai di Seoul," kata Hye-Rin mengabarkan melalui ponselnya.

"Appa sudah tahu. Lima belas menit yang lalu kan kau sudah bilang kalau lima belas menit lagi akan sampai di Seoul," jawab Park Jung-Hyun dari seberang.

"Ah, Appa aku kan cuma ingin memastikan saja. Appa sudah makan?"

"Sudah, sudah, ini sudah ketiga kalinya kau bertanya apa appa sudah makan atau belum."

"Aigo, jelas saja Samchon tidak suka ditelepon kalau kau posesif seperti itu," komentar Yoon-Si.

"Aku mengkhawatirkannya. Hidup sendiri seperti itu, siapa yang akan merawatnya?" Nada bicara Hye-Rin terdengar serius. Kedua bola matanya bahkan mulai berkaca-kaca.

RADIO'S HEART (Memento Series #4) SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang