Chapter 10

22 1 0
                                    

Nadya mengemasi bukunya dengan cepat. Hari ini Bu Tata yang mengajar pelajaran terakhir hari ini tidak masuk, karena itulah kelasnya boleh pulang lebih cepat, tanpa guru pengganti. Yaya tidak masuk hari ini, katanya dia sedang tidak enak badan. Nadya berpikir ia akan mengunjungi Yaya setelah bertemu dengan Putra. Ya, mereka sepakat untuk bertemu di Kantin saat pulang sekolah saat Nadya telah melihat pesannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke perpustakaan. Kepalanya dipusingkan dengan beberapa mata pelajaran yang semakin sulit karena dirinya sudah SMA 3, karena itulah ia memutuskan untuk mencari beberapa referensi buku d perpustakaannya. Biasanya akan ada Yaya yang dengan setia menemaninya. Walau Nadya tahu, Yaya tidak terlalu suka perpustakaan yang membuatnya mumet.

Saat melangkah masuk ke perpustakaan yang cukup luas, ia melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suasana perpustakaan sekarang sedang sepi. Mungkin karena baru awal SMA 2. Saat ia menyapukan pandangannya mencari rak untuk buku Matematika, saat ia menemukannya dengan santai ia berjalan ke rak tersebut. Saat ia ingin masuk ke lorong rak itu, Nadya melihat Kevin sedang memasukkan beberapa buku yang ia pegang ke raknya dengan sedikit kesulitan.

"Perlu bantuan?" Tanya Nadya menawarkan. Kevin menatap Nadya, seulas senyum terbit di bibirnya. "Yakin?" Ia medongkakkan kepalanya ke bagian atas raknya yang tinggi. Nadya memutar matanya sebal. Ia tahu ia tidak dapat membantunya, karena nominal tinggi badannya yang kecil. Kevin kembali tersenyum saat mendapati Nadya yang sebal padanya.

"Apa lo selalu kaya gini?" Tanyanya memandang Nadya serius. Ia mengernyit membentuk V alisnya. "Dari gue masuk, lo diomongin terus sama anak cewek di kelas" Nadya menatap Kevin yang memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada heran, khawatir dan penasaran. Khawatir?

Nadya mendengus lalu tersenyum pahit. "Karena gue judes dan ga terlalu peduli kan?" Kevin mengangguk membenarkan. "Gue udah tahu itu dari lama sih. Yah, yang penting gue ga dibully" Ujar Nadya sambil tersenyum. Kevin melihat senyuman itu menyiratkan kesedihan dan keputusasaan. "Kalau ga ada yang bisa gue bantu, gue duluan" Ujar Nadya siap melangkahkan kakinya setelah ia mendapatkan buku yang ia inginkan. "Buku itu agak sulit dipahami. Gue ada buku referensi yang bagus untuk Matematika" Ucapan Kevin membuat langkah Nadya berhenti. "Dimana?" "Sini gue anter" Ajak Kevin yang sudah mendahului Nadya yang mengikutinya.

"Jadi pengurus perpustakaan, ya?" Tanya Nadya mengejek Kevin saat ia mengambilkan salah satu buku Matematika bercover hijau dengan garis kuning di atasnya untuk Nadya dan dirinya sendiri. "Begitulah" Ujarnya sambil terkekeh. Nadya melangkahkan kakinya menuju salah satu meja jati berwarna coklat pudar yang kosong. Kevin ada di sebelahnya juga dan duduk berhadapan dengan Nadya.

Mereka sangat diam karena mempelajari buku mereka masing masing. Sesekali Nadya melirik Kevin saat ia memutuskan untuk meminum air dari botolnya. "Di perpustakaan tidak boleh membawa makanan dan minuman" Ujar Kevin saat Nadya menenggak minumannya, ada tatapan geli tersirat di matanya. "Lo berisik" Ujar Nadya saat menyelesaikan minumnya.

Kevin kembali membaca bukunya, tetapi bibirnya melengkung sebentar. "Lo mau ikut gue jenguk Yaya ga hari ini?" Tanya Nadya. Kevin mengerutkan dahinya, "Ga hari ini, mungkin besok kalau dia masih ga masuk" Ujarnya santai. Nadya menatapnya lekat lekat. Tidak ada kekhawatiran disana, matanya santai, tubuhnya rileks. Nadya menghembuskan napasnya pelan. Ya, Lo belum berhasil, batinnya.

*************************************

Nadya menatap Putra dengan tatapan yang tidak dapat diartikan oleh Putra, tepatnya tatapan kosong. Ia menguburkan kesedihan ke dalam ujung hatinya. Ia meremas jari jarinya sendiri di bawah meja. Mereka sedang di kantin sekolah. Masih terlihat beberapa orang yang menghabiskan waktunya di Kantin.

"Lo mau bantu gue kan?" Tanyanya berseri seri. Nadya tersenyum kaku. Salah lo sendiri! Bawah sadarku berteriak ke arahnya. "Kenapa gue?" Tanya Nadya menyembunyikan getaran suaranya. Sial, gue bakal nangis. Erangnya dalam hati.

Putra menjawab dengan langsung, "Karena lo cewek, dan lo lebih tahu lah" Jawabnya santai. Nadya tersenyum kecut. "Ok" Ujarnya langsung berdiri dan ingin meninggalkan Nadya. Sontak Nadya langsung memanggil Putra "Put". Yang dipanggil menoleh "Kenapa? Oh-Gue mau jemput dia dulu. Kasian nunggu daritadi. Gapapa kan?" Tanyanya mengerti apa yang ada di pikiran Nadya yang hanya mengangguk.

Setelah melihat punggung Putra menghilang. Nadya terdiam dengan pandangan kosong. Tiba tiba ponselnya bergetar. Muncul nama Dinda di layar ponselnya.

"Iya, Ma?" Ia berpikir suaranya pasti terdengar seperti sangat menyedihkan. Nadya terdiam mendengar pertanyaannya sekarang. "Ya.. Aku akan segera ke sana. Maaf" Ujar Nadya sesaat sebelum memutuskan sambungannya. Ia melupakan janjinya untuk bertemu dengan Dinda. Dengan langkah gontai ia memakai ransel di punggungnya dan berjalan ke kosnya. Yap, dia berjanji untuk bertemu dengan Dinda di kosnya. Karena sudah berbulan bulan tidak bertemu dengan ibunya, ia sedikit khawatir dengan keadaan ibunya sekarang.

Nadya menatap ibunya yang sudah ada di kamarnya sambil menonton TV dengan santai. Ia tersenyum kaku pada ibunya yang terlihat santai dan nyaman di posisinya.    

"Maaf aku terlambat" Ujar Nadya sambil meletakkan tasnya di lantai bersender pada dinding. Dinda tersenyum dan menepuk sofa sebelah kirinya.

"Kamu sudah makan Nad?" Nadya menggeleng. "Makanlah, mama bawakan kamu perkedel goreng dan sup wijen untukmu" Ujarnya sambil mengangkat rantang tiga tingkat di dalamnya. Nadya menatapnya berbinar, perutnya memang sudah bergema daritadi. Ia membuka rantang itu, meletakkan masing masing tingkatan yang sudah terpisah di atas meja belajarnya yang ada di depan sofa. Perkedel goreng dan sup wijen adalah makanan kesukaannya.

"Mama ga makan?" Tanya Nadya menatap Dinda sambil memasukkan sesendok kuah ke dalam mulutnya. Dinda menggeleng dan mengatakan bahwa ia sudah makan.

"Kalau mama tidak ada, kamu harus makan yang banyak ya" Ujarnya lembut. "Mama mau kemana?" Tanya Nadya langsung. "California" Nadya diam menatap Dinda yang akan melanjutkan. "Mama ada urusan bisnis di sana" Nadya membentuk mulutnya menjadi huruf O. Ia tahu, Dinda pasti akan sering berpergian karena bisnisnya. Tapi sekarang ia sudah tidak marah lagi. Ia tahu Dinda menyayanginya, karena itulah ia ada disini dan memberikan makanan yang sangat enak untuknya.

"Pergilah ma, jangan khawatirkan aku" Ujar Nadya sambil tersenyum tulus.

Nadya menatap langit langit kamarnya merenung, tatapannya kosong. Ia merasa kesepian hari ini. Yaya sedang sakit, Ibunya yang akan pergi ke California, Putra yang mendepaknya. Ya, dia kesepian. Padahal ia sudah biasa merasakan kesendirian sebelum kehadiran Putra yang mengusik hidupnya. Air mata menusuk mata Nadya saat mengingat kejadian sepulang sekolah tadi.

"Gue mau nanya suatu hal ke lo" Ujar Putra sambil tersenyum berseri seri. Nadya mengernyit lalu bertanya apa. "Lo ga bisa pacaran ama gue kan?" Nadya membuka matanya lebar lalu mengangguk. Ia memang tidak bisa pacaran sekarang, perasaannya masih labil dan ia tidak menginginkan itu sekarang. Sulit menjelaskannya, Nadya tahu ia egois, membiarkan Putra digantungkan perasaannya. Yang ia tahu, ia harus belajar dan menggapai mimpi ayahnya secepat mungkin.

"Kalau gue deketin cewe lain boleh kan?" Tanyanya yang membuat Nadya tadinya menunduk mendongkakkan kepalanya. Ia tersentak sedangkan Putra menatapnya dengan kegembiraan. "Tentu, itu hak lo" Ujar Nadya berusaha mengatasi hatinya yang berkecamuk sekarang. "Oke. Terus gue mau minta bantuan" Ia terhenti sebentar. "Ella, dia bentar lagi ultah. Gue mau lo bantuin kado buat dia" Ella Calwins? Sosok cantik, putih bersih. mata gelap yang bulat dan hidungnya yang mancung muncul di pikiran Nadya.

"Lo mau bantu gue kan?" Tanyanya berseri seri. Nadya tersenyum kaku. Salah lo sendiri! Bawah sadarku berteriak ke arahnya. "Kenapa gue?" Tanya Nadya menyembunyikan getaran suaranya. Sial, gue bakal nangis. Erangnya dalam hati.

Putra menjawab dengan langsung, "Karena lo cewek, dan lo lebih tahu lah" Jawabnya santai. Nadya tersenyum kecut. "Ok" Ujarnya langsung berdiri dan ingin meninggalkan Nadya. Sontak Nadya langsung memanggil Putra "Put". Yang dipanggil menoleh "Kenapa? Oh-Gue mau jemput dia dulu. Kasian nunggu daritadi. Gapapa kan?" Tanyanya mengerti apa yang ada di pikiran Nadya yang hanya mengangguk.

Nadya meringkuk seperti bayi di kasurnya. Ia tidak tahu mengapa ia menangis. Ia merasa kehilangan, benar benar kehilangan dan sendirian. Dadanya sesak saat ia memikirkan Putra yang akan keluar dari hidupnya. Ini memang kesalahannya, ia tahu. Kepalanya penat tapi ia tidak merubah posisinya sedikit pun. Sampai ia mulai terlelap dalam tidurnya. 

A Match Made In HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang