Tersebutlah di negeri antah berantah, hiduplah dua ekor semut Riko dan Chiko yang berkarib baik sejak kecil. Mereka dilahirkan dari keluarga yang berbeda status sosial, Riko dengan segala kecukupannya dan Chiko dengan segala kemewahannya.
Beberapa tahun mereka bersahabat tidak pernah diantara mereka saling kecewa perihal satu hal atau lainnya. Perbedaan status sosial tidak membuat mereka berdua lantas saling tidak mau mengenal, tapi justru dari hal tersebutlah mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Namun, Chiko dewasa tidaklah lagi seperti dia saat masih kecil. Chiko dewasa kini mulai berubah, banyak hal yang tidak lagi di temui Riko pada pribadi Chiko yang dulu. Chiko kecil sangatlah rendah hati, baik, tidaklah suka menyombongkan harta terlebih itu milik orang tuanya, lebih suka berbagi dan menghabiskan waktu bersama Riko.
Chiko kini telah menjadi sosok dewasa angkuh yang suka memamerkan apa yang dia miliki. Mulai dari hal sepele hingga hal besar seakan menjadi buah bibirnya yang nyinyir setiap kali bertemu Riko. Hingga pertemuan dan persahabatan dua ekor semut itu kini lama-lama mulai renggang. Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan Chiko kini untuk berteman dengan Riko. Salah satunya karena Riko lahir dari keluarga yang paspasan dan itu membuat Chiko mulai sedikit menjauh.
Suatu hari tanpa sebuah kesengajaan dua ekor sahabat itu saling bertemu di suatu taman dengan padang rumput hijau. Chiko yang tertangkap basah oleh mata Riko tak bisa lagi menghindar. Riko sangat hafal dengan ciri sahahatnya tersebut, maka dari itu walaupun mereka dari jarak berjauhan Riko bisa menemukan Chiko dari ratusan semut yang hampir sama.
"Ko! Tunggu, Ko!" Riko mengejar dengan terburu-buru takut Chiko akan hilang lagi. Chiko yang saat itu bersama gerombolan teman-temannya yang juga tergolong dari keluarga berada, merasa malu harus bertemu dengan Riko dengan penampilannya yang kusam dan hampir mirip semut miskin dengan kekurusannya serta beberapa sobekan pada bajunya. Dia bingung akan berbuat apa, ingin lari sudah terlanjur, pergipun juga tak mungkin karena dia bersama yang lain.
"Dih ... siapa sii loe? Sok kenal, panggil ... panggil lagi," kata Chiko kasar dengan mata sedikit melotot saat tubuh Riko hanya tinggal selangkah di depannya.
"Hlah ... suka bercanda ya? Ini saya Riko, sahabat kamu dari kecil, kamu lupa?" ucap Riko tanpa merasa ada kejanggalan.
"Tapi ... gue gak pernah punya sahabat namaya Riko, serius gue gak bercanda." Seketika keriuhan teman-teman Chiko menjadi hening. "Udah ... loe pulang sono semut tengil, gak kenal juga panggil-panggil. Sotoy jangan di pelihara, sekolah dong!" Ucapan itu seketika membuat Riko yang tadinya girang menjadi garing.
"Eh ... jangan gitu deh, Ko. Siapa tahu emang dia sahabat loe dari kecil dan karena beberapa tahun kalian gak ketemu jadi sama-sama berubah pun dengan loe. Bedanya dia inget sama loe dan loe udah amnesia."
"Enggak, Win! Loe gausah sok tahu juga deh. Gue enggak kenal anak ini. Sekalipun suruh inget gue pasti gak inget juga, Win." Chiko mulai bersungut-sungut.
"Sekarang gini, Bang," ucap salah satu sahabat Chiko kepada Riko mencoba menengahi, "Kamu tahu gak Chiko ini siapa dan anak mana. Atau barangkali tahu dia anak siapa."
"Iya, saya tahu. Rumahnya ada di ujung dekat sungai tembusan kota. Dia anak ...."
"Udah stop ... stop! Loe pulang kalau gak mau bikin kerusuhan di sini." Usir Chiko kepada Riko seketika itu juga, takut teman-temannya tahu jika Riko benar sahabatnya dari kecil.
"Eh, Ko! Loe gak boleh gitu dong. Biar dia jelasin dulu. Apa si susahnya denger? Siapa tahu abang semut ini salah orang," ucap Erwin kembali menengahi.
"Biar dia pergi! Apa si pentingnya?"
"Biar, saya pergi saja, Bang. Maaf sudah mengganggu, anggap saja tadi saya salah orang." Riko si semut hitam lantas kembali meneruskan perjalanannya dengan membawa luka pada hatinya. Bagaimana bisa teman, sahabat, karibnya sejak kecil melupakannya seketika itu juga, padahal mereka sempat bertemu beberapa pekan lalu dan tidak ada kecanggungan di antara mereka.
Hari-hari berlalu bagai roda yang terus berputar membawa segudang cerita. Di pagi yang masih terlalu indah untuk memanjakan diri. Ketukan pintu keras menggebrak rumah Chiko semut hitam. Segerombolan belalang tanpa ampun mengobrak-abrik seisi rumahnya. Belalang itu mencari Cipa--ayah Chiko--mereka berkata jika Cipa memiliki janji kepada belalang-belalang tersebut untuk memberikan bahan makanan di musim kemarau seperti ini.
Namun setelah dua hari di tunggu ternyata perjanjian itu hanya omong kosong. Belalang yang merasa di bodohi murka dengan hal tersebut. Akibatnya rumah semut megah yang di bangun dari gundukan tanah dan sari pati liur itupun tanpa menunggu waktu satu jam sudah rata kembali dengan tanah.
Tidak ada yang bisa mencegah hal tersebut. Gerombolan belalang bagai kesetanan merusak seluruhnya tanpa ampun. Chiko hanya bisa meratap pun dengan Chipa. Pendapatan bahan makanan akhir-akhir ini susah, itulah akibatnya Chipa belum bisa memenuhi janjinya kepada belalang. Belum sempat Chipa menemui sudah ratalah rumah dengan tanah.
Kabar mengenai rumah Chiko yang rata dengan tanah itupun cepat tersebar. Terlebih Chipa adalah seekor semut saudagar bahan makanan terkenal di negeri semut. Berita itu lambat laun sampai di telinga Riko. Dia mendengar hal tersebut dari tetangganya yang tadi pagi membicarakan hal itu saat mereka mengambil air.
Tanpa menunggu waktu dua hari, Riko lantas bergegas kerumah Chiko. Di singkirkannya mengenai hal-hal yang sudah terjadi kepadanya dan Chiko beberapa hari lalu. Hal yang menurut sebagian makhluk sangat menyakitkan namun bagi Riko itu bukan persoalan. Yang penting sekarang dia bisa menemui Chiko dan memastikan jika sahabatnya sudah dalam keadaan baik.
Setengah jam perjalanan menyusuri beberapa kampung, Riko akhirnya sampai di tempat Chiko. Riko tertegun, dari jarak satu meter dari rumah Chiko dia melihat rumah yang dulunya megah tak lagi ada. Yang ada hanya rumah-rumahan terbuat dari susunan daun dan ranting yang mungkin sengaja di bagun untuk tempat tinggal sementara.
Perlahan Riko mendekati rumah tersebut, dia melihat seekor semut tengah susah payah mengambil air dari sungai. Dia tahu itu siapa namun dia enggan mendekati, takut jika kedatangannya malah jadi salah arti. Seperti tak kuasa membendung kesedihan dengan sedikit keberanian Riko mendekati semut tersebut.
"Apakah perlu bantuan, Sob?" ucap Riko perlahan dari arah belakang.
Seketika Chiko menoleh kepada sumber suara, dilihatnya dengan saksama dia yang ada di depannya tersebut, "Ri ... Riko," ucapnya terbata dan seperti salah tingkah.
"Iya ... ini saya, apakah ada yang bisa saya bantu untukmu? Membantu membawakan air misalnya."
"Ti ... tidak usah, Rik. Aku bisa bawa," kata Chiko perlahan lalu meneruskan perjalannya.
"Bukankah kita dulu adalah sahabat, yang sama-sama belajar untuk saling mengisi dan melengkapi. Saya ini sahabatmu, susahmu dukaku, dukamu sedihku." Riko sengaja mengucapkannya dengan lantang. Lantas Chiko menghentikan langkahnya.
"Aku tak pantas berteman dengan orang sebaik engkau, Rik. Tak pantas," ucapnya tersengal.
Riko lalu mendekati Chiko yang mencoba membawa air dengan susah payah tersebut, "Sini saya bantu bawakan air, saya tahu kamu tak bisa melakukannya sendiri."
Chiko hanya diam, fikirannya seperti mengulang pada kejadian beberapa hari yang lalu saat dengan lihai lidahnya mengucap tak mengenal Riko. Dan kali ini Riko mau membantu dan hadir di tengah-tengahnya saat dia kesusahan. Riko seakan lupa dengan apa yang Chiko lakukan.
"Hey, Ko! Kok bengong? Ayo angkat, dibantu malah."
"Owh ... iya, Rik. Sorry, yuklah jalan."
Beberapa hari setelah ini, semua kembali seperti semula. Chiko yang kembali menjadi dia seperti dulu dan Riko yang tetap setia menjadi sahabat Chiko meski dia sudah pernah dibuat sakit hati.
Persahabatan itu tulus, tiada yang di buat-buat tiada yang terpaksa. Memaafkan salah sahabatnya misalnya, tiada sebuah keterpaksaan meski itu kesalahan fatal sekalipun.
***
V I D T R I
KAMU SEDANG MEMBACA
Loka Fabel
Short StoryKumpulan Cerpen, dimana semua tokohnya adalah Hewan. Fabel sendiri memiliki arti suatu kisah fiksi yang menceritakan para hewan yang berperilaku dan memiliki sifat layaknya manusia. Zaman dulu, kisah fabel digunakan untuk sindiran pada penguasa atau...