6. I Need U, Namjoon-ah

393 48 7
                                    

He sat up. He smiled. Something heavy and winged took off from his chest.
Eleanor hadn't written him a letter, it was a postcard.
Just three words long.

"And the three words is I LOVE YOU."

Aku mengakhiri argumenku dengan tawa sumbang. Menutup halaman ending novel 'Eleanor & Park' tanpa membaca epilognya. Lagipula untuk apa? Aku sudah membaca novel karya Rainbow Rowell itu empat kali.

Meraih termometer di nakas, aku kembali mengukur suhu tubuhku di telinga. Terdengar bunyi 'beep' yang segera kutarik benda sebesar jari telunjuk itu kehadapanku.

38,7 °C

Heuh. Demamku tak kunjung turun sejak tiga hari yang lalu. Dan selama itu pula aku tidak keluar rumah. Kakiku terasa berat bahkan untuk berdiri. Resiko terburuk dari tinggal sendiri adalah seperti ini. Tidak ada yang merawatmu ketika kau sakit.

Mungkin sebaiknya aku tidur lebih lama. Sampai demamku turun.

***

"Euuhh"
Aku terbangun tanpa sengaja saat kepalaku terasa nyeri berlebihan. Tenggorokanku pun terasa lebih panas dari yang tadi. Gejala yang nampak semakin parah. Aku harus bangun dan mengompres dahiku.

Akh.
Bahkan untuk sekedar mengangkat kepala aku tidak sanggup. Rasanya benar-benar sakit, dan kakiku terasa dingin. Aku tidak bisa berbuat sendirian. Aku juga tidak ingin merepotkan orangtuaku yang jauh diluar kota.

Aku tidak bisa memanggil temanku, karna aku tidak ingin memberi tahu apa password apartmenku. Hanya dia.. Aku butuh dia..

'Yeoboseyo'

Suara serak itu mengalun ditelingaku saat aku berhasil menghubunginya.

"N.. Nam.."

'Sayang--'

"Nam.. Joon-a.. Hiks, Namjoon jebal.."

Aku tidak memiliki kekuatan lagi. Ponselku jatuh begitu saja disamping ranjang. Aku menangis, tapi air mataku tidak keluar. Tenggorokanku kering, badanku panas, dan aku tidak dapat bicara dengan benar. Sungguh rasanya sangat sakit sekali.

Mungkin ini kali pertama dalam usia dua puluh tahunku, aku mengalami demam yang tidak bisa kutangani sendiri. Keringat membasahi pelipisku, dan dadaku terasa sesak untuk bernapas.

BRAK.
Suara pintu terbuka begitu keras dan memekakkan telinga. Aku melihat sosok lelaki dengan penglihatan buramku. Lelaki itu berlari kearahku yang terkapar tanpa tenaga.

"Yatuhan. Sayang? Kau sakit."

Namjoon.

Aku terdiam saat Namjoon menyentuh dahiku. Memeriksa suhu dileherku, dan menatapku kembali.

"Sejak kapan kau demam?"

'Ti.. Tiga ha--"

"Astaga! Demam selama tiga hari itu tidak menghubungiku? Kita harus kerumah sakit sekarang!"

Aku mencengkeram lengan pria didepanku saat ia berusaha menggendongku. Dengan sisa tenaga yang benar-benar lemah aku menggeleng. Menatap Namjoon seperti anak ayam. Aku tidak suka rumah sakit.

"Namjoonie.. Jeb-al.." Aku menggeleng sekali lagi.

Pria tinggi itu menghela napas. Ia menurunkan aku kembali. Aku dapat melihat gurat kekhawatiran diwajah tampannya. Aku.. Sungguh merasa bersalah telah menghubunginya tengah malam seperti ini.

"Dengarkan aku, sayang. Aku akan menjadi doktermu malam ini. Jangan merengek, jangan denial. Kau harus menurut padaku untuk malam ini demi kesembuhanmu."

Aku mengangguk pelan.

Namjoon mengambil termometer telinga dinakas. Ia memeriksa suhu badanku lagi.

"40 °C! Kita akan---"

Pria berlesung pipit itu terdiam saat aku mengeratkan kembali cengkraman tanganku. Namjoon tahu, bahwa aku sangat tidak suka rumah sakit. Ia mengusak rambut almondnya kebelakang, kemudian beranjak dari sampingku.

"Jangan pergi~"

Namjoon mengusap jemariku, begitu lembut dan menenangkan.

"Aku tidak akan pergi, sayang. Aku hanya akan mengambil sesuatu. Kau percaya padaku kan?"

Aku melepaskan lengan Namjoon. Melihat senyum dimple itu dalam buramnya cahaya. Ia pergi menjauh. Membuatku takut, takut bahwa pria itu tidak akan kembali.

Semuanya menggelap. Dan aku tak lagi merasakan pusing yang luar biasa seperti tadi.
***
TBC

Sebuah Chapter mentah untuk mood nulis kembali. 😀😀
Makasih banget udah mau baca ceritaku.

Kim Namjoon and Me ❤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang