8. A Saturday Night

423 34 6
                                    

"I only watch you from behind, because now isn't the time." - Ilsan, June 5th.

***

Namjoon pernah bilang padaku, bahwa ia sudah tahu aku lebih lama. Jauh sebelum kelulusan dimana pemuda itu menyerahkan kancing kemejanya padaku.

Pemuda lesung pipi itu memang terkenal di sekolah dulu. Tapi aku menutup diri dari semua hal itu, karna aku hanya fokus dengan bidang akademik.

"Kapan sih?" Aku menatap langit-langit apartmen Namjoon.

Seperti pasangan lainnya di malam minggu, kami menghabiskan waktu bersama. Karna tidak punya planning, aku berakhir di apartmennya. Merebahkan kepala dipangkuan Namjoon yang serius membaca sesuatu. Ruang tamu adalah tempat favorit kami.

"Kau tidak akan ingat."

Aku mengerucutkan bibirku. Memainkan ujung kaos putih Namjoon. Ia mengabaikanku hanya karna buku menyebalkan itu. Ya, aku tahu jika pria jenius seperti Namjoon pasti suka membaca buku. Tapi kenapa tidak bisa membagi waktu sih?

"Namjoon,"

"Hmmm.."

Ok. Aku 100% diabaikan sekarang. Membalikkan badan dan mengalihkan atensi pada TV yaang sejak tadi hanya menonton kami. Namun tidak beranjak dari posisi.

Hey, Paha Namjoon itu lebih nyaman dari bantal bulu angsa sekalipun.

Sayup dari dominasi lengkingan TV, aku mendengar sebuah buku yang ditutup lalu bunyi buku terlempar. Ya baiknya aku mengabaikan saja, toh tidak menggangguku. Tapi,

"Ngambek?"

"Ahahaha.. Geli.. Ahahaha.. Namjoon stop! Haha"

Namjoon menggelitiki pinggangku hingga aku terlentang dipangkuannya. Sungguh geli sampai aku akhirnya menangkap kedua tangannya yang menggelitiki pinggangku.

"Ahahaha." Aku masih tertawa meski gelitikan Namjoon sudah berhenti. "YA!! Geli tau!"

Aku langsung merengut setelah efek geli itu menghilang. Bangun dari paha Namjoon, aku hendak beranjak dari soffa. Tapi pemuda itu menggenggam lenganku, hingga paling parah aku harus terduduk dipangkuannya.

Sial. Ini harusnya romantis, tapi aku justru merasa awkward.

"Masih marah?" Tanya Namjoon seraya mengusak punggungku.

Wah, pria mesum ini tidak boleh dibiarkan jika jika aku tidak ingin berakhir dibawahnya.

"Aku tidak ngambek, ataupun marah." Aku meraih tangan Namjoon kemudian menggenggamnya. Antisipasi saja. Takut tangan menyebalkan itu merambat kemana-mana.

"Sayang, tidak biasanya kau menonton TV. Karna disini hanya TV yang selalu menonton kita. Kenapa mengabaikanku?"

Nah loh? Kan harusnya aku yang bertanya kenapa dia mengabaikanku? Hanya demi buku tebal itu? Yang bahkan dia sudah lulus kuliah, heum?

"Kau ingin tahu sesuatu?"

Aku melihat mata sipitnya. Tahu apa yang paling kusukai dari Namjoon? Yang pertama, otak geniusnya. Yang kedua, sifat masokisnya. Yang ketiga? Mata sipit itu.

Aku mengangguk pelan.

"Apa hadiahnya?"

"Hadiah apa?"

"Hadiah jika aku sudah menceritakan pertemuan pertama kita yang telah kau lupakan." Namjoon mengerling.

Aku berdecak. Kenapa sih pria itu tidak pernah memberi sesuatu secara gratis --Kecuali kancing seragamnya dulu-- kepadaku? Dan sudah kupastikan, jika hadiah yang di minta Namjoon juga tidak jauh dari hal-hal kotor. Aku sungguh tahu isi otak mesumnya itu.

Kim Namjoon and Me ❤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang