PROLOG

8.9K 429 72
                                    

Darah berceceran seperti tumpahan tinta. Andaikan tumpukan puing yang menyelimuti bumi ialah kanvas, maka darah tadi telah menggoreskan kesaksian akan pertempuran pamungkas antarpenyihir di atasnya. Untai mantra sihir dilantangkan dalam suara yang sama keras. Setiap serangan dikerahkan dalam kekuatan yang setara.

Akan tetapi, hanya satu pihak yang terus menguras darah, bahkan kini semakin tertatih dan tersengal serak. Lawannya ialah orang yang tidak segan memenggal leher maupun mengoyak isi dadanya jika punya kesempatan. Apa yang menggerakkan sang lawan ialah keinginan akan pemusnahan massal dari kaum seberang, serta tujuan hidup yang telah mengakar dalam jiwa.

Para penyihir hitam hanya bisa bertengger dan terdiam jeri. Para penyihir putih masih lebih ribut dan seperti ingin beringsut lari. Tidak ada yang menyangka bentrok ini akan terjadi. Tidak ada satu pun yang sebenarnya ingin menjadi penonton semua ini. Namun, hasil dari pertempuran itu akan menentukan hasil akhir invasi sekaligus mempertaruhkan keberpihakan sosok yang paling dicari kedua kaum kini.

Dan, terus memberontak dengan sia-sia dalam sangkarnya, ialah sang target yang terjebak dilema mengerikan … tentang siapa yang sebaiknya ia bunuh dari kedua orang di sana.

Dua Penyihir [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang