Persahabatan Dua Generasi

424 78 22
                                    

Semalam Armin tidur di atas sofa, tidak jauh dari pintu masuk rumah. Dia terbangun karena mendengar suara kelontangan pintu gerbang rumahnya. Seseorang masuk ke dalam pekarangan rumah dan terdengar suara gemerincing kunci bersamaan dengan langkah kaki seseorang.

Kakek membuka pintu rumah dan terkejut melihat cucunya tidur di ruang tamu, "hei, kenapa kau di sini? Tidak tidur di kamarmu saja?"

"... Tidak, aku baru pulang larut malam tadi, ngantuk sekali jadi aku tidur di sini saja," kata Armin.

Kakek terlihat lelah, subuh tadi dia baru sampai di terminal bus dan langsung pulang menggunakan taksi. Namun sepertinya kesedihan di matanya bukan karena lelah, lebih kepada sebuah duka yang mendalam.

"Aku buatkan kau teh dulu, kek," Armin pergi ke belakang dan kembali lagi bersama secangkir teh.

"Terima kasih," kakek menyesap teh itu sedikit, tampaknya dia tidak haus. 

"Jadi, Dave meninggal dunia, huh?"

"Iya, serangan jantung, sudah sejak beberapa bulan lalu. Dia butuh operasi tapi tidak punya dana akhirnya terlambat," kata Armin.

"Aku kasihan pada cucunya," kata Kakek. "Sebenarnya beberapa hari yang lalu, Dave meneleponku. Dia bilang padaku untuk pergi melihat gunung Fuji di Jepang. Dia bilang dia dapat voucher gratis tamasya hanya untuk satu orang."

"Dia memberikannya padamu?"

"Ya, tapi dia tidak bilang kalau dia sedang di rumah sakit. Dia juga tidak bilang kalau dia sedang sakit. Coba kalau dia bilang, aku pasti bisa membantunya. Minimal menjaga cucunya," kata Kakek.

Armin tersenyum kecil, "sepertinya memang sudah jadi bawaan keluarga."

Kakek tertawa, "memangnya Jean juga begitu?"

"Ya, dia selalu menyimpan hal-hal penting untuk dirinya sendiri. Sampai akhirnya situasi jadi kacau dan dan dia bingung mau menyalahkan siapa," kata Armin.

"Kurang terarah ya?" kata Kakek.

"Yah, begitulah. Kurasa dia hanya orang bodoh yang menghadapi masalah dengan menambah masalah lain. Kalau ada kebakaran dia akan menyiram minyak daripada api untuk memadamkan kebakaran itu. Setelah apinya membesar, dia akan menyiramnya dengan bensin karena berpikir benda itu bisa meredakan api," kata Armin.

"Hahahahaha ... Kau berkata seakan kau sangat mengenalnya saja. Ngomong-ngomong, ayo naik ke mobil. Mari kita melayat."

"A-aku tidak ikut," kata Armin.

"Lho, kenapa?"

"Hari senin besok ada ujian, aku harus belajar," katanya.

"Tapi hari ini Dave dikremasi, kan? Kau yakin tidak mau ikut? Kurasa Jean akan senang melihat sahabatnya hadir di hari penting ini," kata Kakek.

"Tidak juga," Armin berjuang untuk berbicara dengan sangat wajar, "kan pacarnya ada di sana. Dia pasti mengerti kok kalau aku tidak datang."

Tapi Kakek malah meledeknya, "heh, cemburu nih?"

"T-tidak kok!" Armin jadi deg-degan karena dia selama ini menyembunyikan kecenderungannya menyukai sesama lelaki dari si Kakek. Gara-gara Jean, Kakek jadi tahu mengenai rahasia klosetnya itu. 

Tentunya sebagai satu-satunya keturunan dan garis terakhir keluarganya, Kakek pasti maunya Armin menemukan perempuan dan menikah lalu punya anak dan melestarikan gen keluarga. Armin sendiri sudah merencanakannya. Pada usia tertentu, yaitu ketika dia sudah mendapatkan pekerjaan tetap dan layak nanti, dia akan meminta Kakek untuk menjodohkannya dengan gadis manapun. Sementara waktu dia akan menjalani kehidupan sebagai suami yang bertanggung jawab, kemudian ketika anak-anaknya sudah mapan, baru dia akan bercerai dengan istrinya dan hidup bersama cinta sejatinya, Eren. Paling tidak 20 sampai 25 tahun, dia bisa bersabar bila hanya sekian saja. 

Jangan Dekat-Dekat, Maho!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang