"Tidak mungkin Jean membereskan semuanya sendiri, kau bantu dia, Armin," kata Kakek.
"Maaf, kek, aku merasa tidak enak badan. Jean orang yang kuat, dia pasti bisa mengerjakan semuanya sendirian," selesai berkata demikian Armin langsung masuk ke dalam rumah dan berpapasan dengan Jean.
Rasanya aneh melihat wajah itu sekali lagi setelah semalam Armin yakin bahwa dia sudah pergi dari hidupnya. Armin mencoba untuk mengembalikan bayangan bekas lipstik Hitch pada tepian bibir Jean, dengan begitu, dia akan ingat untuk selalu menjaga jarak.
Tanpa bilang permisi, Armin melewatinya dan langsung masuk ke dalam kamar. Naik ke lantai dua, dia menyadari kamar yang dulu ditinggali orangtuanya sudah terbuka, Jean pasti akan tinggal di sana.
Memindahkan barang dari lantai satu ke lantai dua butuh tenaga ekstra, tidak mungkin seseorang bisa melakukannya seorang diri, sementara besok mereka harus sekolah.
Tidak! Aku tidak boleh berkomunikasi dengannya. Aku kan sudah bertekad untuk melupakannya!
Armin masuk ke kamar dan ambruk di atas ranjang, memejamkan matanya dan mencoba mengabaikan suara gradak-gruduk di kamar sebelah. Jean pasti sedang memindahkan barang-barang di kamar orangtuanya itu menuju loteng tempat gudang berada. Sesayup dia mendengar kakeknya berkata "kurasa benda-benda ini bisa kujual di toko online nanti. Kalau disimpan hanya akan memenuhi ruangan saja."
Pukul sembilan malam, kamar itu sudah kosong. Jean dan Kakek sedang mengepel ruangan itu. Mereka membuka jendelanya lebar-lebar agar sirkulasi udara terjadi dan kelembapan di kamar itu menghilang.
"Ayo istirahat dulu, Jean. Ini aku buatkan kue kering dan teh. Untung kita sudah makan sebelum pindahan tadi," kata Kakek, meletakkan nampan berisi kue kering dan teh manis di atas lantai karena ruangan itu benar-benar kosong.
Jean duduk bersama Kakek dan mulai beristirahat.
"Bagaimana? Apa kamu senang datang ke sini?" tanya Kakek.
Selama ini Jean selalu menyepelekan hal-hal yang telah dia miliki, dia benar-benar terkejut saat Armin mengucapkan selamat tinggal. Sungguh. Pada saat Armin mempertanyakan bila Mikasa berubah pikiran dan mengejarnya, apakah dia juga akan mencuri kesempatan seperti yang dia lakukan terhadap Hitch, Jean tidak tahu jawabannya. Dia tidak tahu karena dia tidak ingin berbohong, dan dia tidak ingin mengumbar janji asal hanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Karena itulah dia tidak mampu menahan Armin saat dia masuk ke dalam rumah, mengucapkan selamat tinggal dan menutup pintu. Baginya, Armin menutup pintu terlalu cepat.
Sesungguhnya dia merasa bahwa dia takkan bisa mendapatkan Armin kembali karena orang itu pasti masih kesal atas apa yang telah terjadi. Mungkin satu atau dua tahun, atau lebih lama lagi, Jean baru akan kembali untuk menyapanya. Tapi kemudian Kakek Arlert datang dan mengajaknya untuk tinggal serumah. Semua itu karena ternyata sang Kakek sudah menitipkan pesan pada seseorang di Gunung Fuji. Pesan untuk Kakek Arlert agar dia menjaga Jean.
"Kakekmu sangat memikirkan dirimu, dia tahu bahwa kamu sangat kecewa pada kedua orangtuamu. Bagi seorang anak, orangtua adalah segalanya, tentunya karena rasa kecewamu terhadap mereka, membuatmu jadi pemberontak dan menyepelekan hidupmu. Dia melihat bahwa sejak berteman dengan cucuku, Armin, kamu jadi lebih serius menghadapi hidup. Armin membawa pengaruh baik untukmu, itu sebabnya dia memintaku untuk ke Gunung Fuji, dimana dia meletakkan surat permohonan terakhir untukku. Dia memintaku untuk menjagamu," kata Kakek Arlert.
Mata Jean berkaca-kaca mengenang kakeknya. Selama ini kakek tidak pernah mengajaknya bicara, dan saat dia masih mampu, dia memukuli Jean dengan potongan kayu saat dia pulang malam. Dia mengomel panjang lebar mengenai masa depan dan betapa bodoh Jean ini. Semua itu karena dia sangat cemas pada masa depan cucu semata wayangnya.
Kakek Arlert mulai bercerita, "aku mengenal kakekmu baru-baru ini di klub bingo, selama ini kita hanya teman kenal dan mengobrol biasa saja. Tapi sejak tahu kalau kamu dan Armin sering main bareng, dia jadi mau berteman lebih dekat denganku. Kurasa itu karena dia melihat Armin baik untukmu. Mulai sekarang, aku harap kamu bisa menganggapku sebagai kakekmu sendiri, karena aku pun menganggapmu sebagai cucuku sendiri."
Jean menganggukkan kepalanya.
"Jangan pedulikan sikap Armin tadi, oke? Dia anak baik, mungkin dia hanya sedang banyak pikiran saja. Tunggulah satu atau dua hari, dia pasti akan kembali seperti sedia kala," kata Kakek.
Sekali lagi Jean hanya menganggukkan kepalanya walau dia tidak yakin.
"Aku tidak keberatan menampungmu di sini, karena aku menyadari sejak berteman denganmu, Armin jadi lebih percaya diri. Setiap kali dia kembali setelah pergi denganmu, aku melihat wajahnya jadi lebih berseri-seri, seakan dia baru saja berpetualang ke tempat yang baru dan menyenangkan. Dulu dia sering sekali sakit, tapi belakangan dia jadi semakin sehat. Aku rasa kalian berdua sebaiknya tetap akur," kata Kakek.
Jean menganggukkan kepala untuk kesekian kalinya tanpa mengatakan apapun.
"Nah, ayo kita angkut barang-barangmu ke atas," kata Kakek.
"Tidak usah, aku bisa sendiri," Jean mempertimbangkan Kakek Armin yang sudah terlihat tua, usianya sudah 60-an.
"Tidak apa-apa. Begini-begini aku masih bugar, masih sering nyupir sendirian ke luar kota dan pulang bawa barang dagangan ke pasar. Jangan remehkan aku, anak muda," Kakek tertawa.
Armin sudah menunggu di dekat pick up, "kalian lama sekali, kukira aku harus mengangkut semua perabotan ini ke lantai dua."
Kakek tertawa, "katanya ngantuk?"
"Itu, aku ....," kata Armin.
"Ya sudah, ayo kita bertiga..."
"Kakek istirahat saja, biar aku dan Jean yang melakukannya," kata Armin.
"Nah, begitu dong! Yang akur, yah!" Kakek terkekeh-kekeh sambil meninggalkan mereka berdua.
Jean memegangi sisi meja belajarnya yang lain, sementara Armin ada di atas bak pick up bersiap untuk mendorongnya ke bawah.
Tapi begitulah, tidak banyak yang mereka bicarakan. Sepertinya sikap Armin yang tadi hanya seperti topeng saja. Walau sesekali komunikasi terjadi di antara mereka seperti misalnya "awas!" atau "kiri dikit", dan sesekali diiringi tawa kecil, namun tetap saja tidak ada komunikasi seperti yang biasanya. Dinding beku itu masih ada di antara mereka, Armin masih memalingkan wajah darinya.
Setelah semuanya selesai diangkut ke lantai dua, Armin berjalan keluar kamar, "bisa sendiri, kan? Jangan berisik ya, aku ngantuk."
Jean tidak mau terlalu banyak bicara dengan Armin, karena sesungguhnya Armin masih menjaga jarak. Mau ngomong apa juga percuma, malah akan membuatnya melangkah semakin jauh.
Baru saja Jean membuka kopor pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam lemari, pintu kamarnya sudah terbuka lagi dan Armin ada di sana.
"Jangan ...," dia berhenti sejenak. "Jangan kau pikir dengan begini aku kembali membuka kesempatan buatmu. Jangan sekali-kali berpikir bahwa aku memberimu kesempatan untuk kembali lagi!"
"Aku tidak berpikir begitu," kata Jean.
"Aku akan selalu ingat bahwa kau ... Kau ... err..." Armin tidak bisa melanjutkan perkataannya karena dia juga merasa tidak pantas menyebut Jean "tukang selingkuh", karena faktanya justru Armin lah yang terlebih dulu meninggalkannya. "... Kau tidak bisa dipercaya!"
"Santai, aku akan bayar tagihan setiap bulan kok," kata Jean.
Sebenarnya Armin tidak membicarakan itu, sih, tapi ya sudahlah kalau dia menangkapnya begitu. Armin menutup pintu kamar Jean dan masuk ke dalam kamarnya untuk tidur.
Armin tidak bisa berhenti berpikir bahwa Jean sengaja meminta dirinya tinggal bersama di rumah keluarga Arlert. Walau terlihat jelas bahwa Kakek memang sengaja untuk memaksa Jean tinggal bersama mereka, tapi Armin tidak bisa berhenti memikirkan prasangka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Dekat-Dekat, Maho!
FanfictionSetelah Jean menjauhi Armin, Eren datang mendekat. Ini kesempatan buat Armin untuk berdekatan dengan Eren seperti saat mereka kecil dulu. Tapi ternyata Jean kembali lagi dalam hidupnya dan bersumpah untuk membuat Armin kembali mempercayainya. Seas...