Relakanlah

387 76 43
                                    

Sesuai dengan undangan Pak Levi, Mikasa datang ke ruang wakil kepala sekolah seusai pelajaran. Ia menunjukkan wajahnya yang biasa, datar tanpa ekspresi, mata sayu dan hitam legam. 

"Anda memanggilku, pak?"

"Duduk, Mikasa," kata Pak Levi, menunjuk bangku di hadapannya.

Setelah Mikasa duduk di sana, Pak Levi menunjukkan satu persatu.

"Temanmu, Armin dibully kemarin. Mereka menelanjanginya, mengaraknya keliling sekolah dan mengalungkan ini," Pak Levi menunjukkan papan yang dikalungkan Floch di leher Armin.

"Kemudian ada yang memasukkan permen karet ke dalam sepatu Armin di dalam lokernya," Pak Levi memperlihatkan permen karet yang kemarin menempel pada sepatu Armin.

"Dan sebenarnya ini sudah terjadi setiap hari, seseorang memperlakukan lokernya seperti bak sampah, ini yang bisa kita ambil di hari terakhir," Pak Levi menyodorkan foto macam-macam sampah yang dimasukkan ke dalam loker Armin.

"Rupanya ada satu orang yang memerintahkan Floch untuk melakukan itu semua, bila bukan mengancamnya, seseorang yang lebih kuat daripada Annie, karena dia berhasil membuat Hitch menuliskan surat ini," dan terakhir adalah surat vulgar yang menyerang sisi homoseksualitas Armin.

"Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu melakukan ini?" tanya Pak Levi.

Mikasa terdiam sejenak, beruntung karena dia tidak berniat untuk menyembunyikannya cukup lama, dia akhirnya bicara.

"Sebelum pacaran dengan Armin, Eren itu pacarku," kata Mikasa. "Hubungan kami baik-baik saja sejak kami jadian pertengahan kelas satu kemarin. Ternyata setelah jadian denganku, dia sadar bahwa dia tidak suka cewek, dia bilang dia terus memikirkan Armin. Kemudian, sebelum aku sempat mencurigainya, dia sudah memutuskan hubungan denganku untuk pacaran dengan Armin."

"Jadi, ini gara-gara cemburu?" tanya Pak Levi.

"Tidak hanya itu. Aku hanya ingin menunjukkan pada mereka bagaimana homoseksualitas dipandang oleh masyarakat luas. Bila aku melihat berita di tv atau blog online, ada seorang gay yang tidak bersalah apa-apa namun diseret oleh orang tak dikenal dan dipukuli sampai mati. Hidup jadi gay itu berarti hidup dengan risiko dibenci orang lain dan dibunuh, disalahkan karena mereka lahir demikian.  Itu yang ingin kutunjukkan pada mereka."

Air mata Mikasa bergulir jatuh, "tapi ... Penantian bertahun-tahun harus berakhir gara-gara dia suka Armin ... Aku ... Aku salah apa?"

Pak Levi menyodorkan kotak tisu bagi Mikasa. Mikasa cepat-cepat mengeringkan wajahnya dan menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

"Sekarang aku tanya padamu, kamu mau apa sekarang? Menurut peraturan yang berlaku, aku bisa saja melaporkanmu pada kepolisian dan mereka akan menjatuhi hukuman pidana yang setara dengan pelecehan dan kebencian yang terencana. Kamu bisa keluar penjara saat saudara-saudaramu sudah punya anak," kata Pak Levi.

"Mungkin lebih baik begitu," kata Mikasa sambil meremas rok panjangnya.

"Eren, Armin, keluarlah," kata Pak Levi dan dua orang itu keluar dari balik lemari buku di belakang meja kerja Pak Levi.

"Mikasa, ternyata kamu benar-benar melakukannya. Kenapa? Armin ini teman kita juga! Kita trio! Kenapa kamu tega seperti itu?!" tanya Eren.

"Apa kamu tidak memikirkan perasaanku?! Aku salah apa sampai kau tinggalkan aku demi dia?!" Mikasa menjerit sambil menangis.

"Aku tahu rasanya sakit, Mikasa, tapi, cinta tidak pernah salah!" kata Eren.

"Anak-anak, biar bapak jelaskan. Pada saat seseorang yang kita cintai datang pada kita dan menyatakan cintanya, hati kita akan merasa bahagia sehingga kita ketagihan perasaan tersebut. Tapi cinta itu bukanlah sesuatu yang bisa kita miliki, melainkan sebuah anugerah yang dipancarkan oleh orang lain pada kita. Cinta itu tidak pernah menjadi milik kita, melainkan tetap menjadi milik orang yang memancarkannya. Itu sebabnya pada saat cinta itu pergi, kita merasa kekurangan dan bertanya apa yang salah dari kita sehingga orang itu meninggalkan kita. Jawabannya, tidak ada yang bersalah. Kita hanya lupa bahwa cinta dari orang lain itu bukan milik kita. Itu sebabnya hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah merelakan cinta itu pergi dan melanjutkan hidup kita. Apa kalian bersedia berdamai?" tanya Pak Levi.

"Sejak Eren meninggalkan kota ini, aku dan Mikasa selalu berteman," kata Armin. "Selama ini, Mikasa selalu ada untukku, tapi aku bahkan tidak tahu kalau dia sudah jadian dengan Eren. Maaf, ya. Kalau aku tahu kalian sudah pacaran, aku tidak akan mungkin menerima Eren sebagai pacarku. Maafkan aku, Mikasa."

Mikasa hanya mengambil tisu ketiganya dan mengeringkan air matanya sekali lagi.

"Eren, banyak hal terjadi di antara kita. Dulu aku sangat suka padamu karena kamu selalu melindungiku. Tapi, sebagai seorang pria, sekalipun pria yang gay, aku tidak suka bila diriku menjadi beban bagi orang disekitarku. Aku tidak ingin dilindungi, aku ingin melihat dunia yang baru. Bila aku terus bersembunyi nyaman dalam perlindungan seseorang, bagaimana aku bisa percaya diri melangkahkan kaki untuk menjajaki dunia yang baru itu?"

"Tapi, aku hanya tidak suka bila melihat orang-orang seenaknya terhadapmu!" kata Eren, mulai was-was Armin akan melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.

"Aku tahu itu, tapi ... sejak kau pergi kelas 4 SD dulu itu, aku sendirian. Aku malu setiap kali Mikasa hadir untuk melindungiku jadi aku bersumpah, apapun yang terjadi, aku tidak mau ada orang lagi yang berdiri pasang badan untukku. Bagaimana aku bisa menyebut diriku sebagai seorang pria kalau aku masih butuh orang lain untuk menjaga diriku?" kata Armin dengan lembut.

"Armin, apa yang hendak kamu katakan?"

"Aku ingin bilang bahwa sesungguhnya bersamamu adalah segala yang kuinginkan. Tapi setelah kupikirkan kembali, kenapa aku menginginkan itu padahal yang kupikirkan setiap hari ... Bukanlah kamu."

"Aku tahu kamu dibalik pintu. Aku akan mendapatkanmu kembali!" Malam itu, Armin masih bersandar di balik pintu, karena dia sendiri tidak percaya bahwa dia harus mengucapkan selamat tinggal pada Jean. Kini dia menyadari bahwa yang menyakitinya adalah pikirannya sendiri.

"Oi! Jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta pada Jean!"

Armin menatap Eren dengan rasa bersalah, "mungkin ya, mungkin tidak. Tapi bila kau tanya, saat ini aku tidak bisa percaya pada siapapun. Aku takut bila orang yang kucintai, orang yang kuberikan waktu dan hatiku, suatu saat pergi diambil orang lain karena hatinya berpindah. Seperti yang kau lakukan terhadap Mikasa demi aku."

"Armin, sudah jangan bicara lagi! Kamu terlalu banyak berpikir, itu bisa mengacaukan situasi!" kata Eren.

"Aku meninggalkan Jean karena alasan itu, kalau aku tidak meninggalkanmu sekarang, maka aku sudah melakukan hal yang tidak adil padanya. Maafkan aku. Mulai sekarang, aku tidak mau pacaran dulu dengan siapapun. Maafkan aku," kata Armin. Dia membungkukkan badannya pada  tiga orang lain dalam ruangan itu dalam-dalam.

Saat Armin akan meninggalkan ruangan, Eren mengejarnya dan menarik lengannya, "katakan padaku, apa kau masih mencintaiku atau tidak?"

Armin menggelincirkan tangannya lepas dari Eren, "aku tidak tahu. Tolong tinggalkan aku sendiri."

Saat Armin membuka pintu, Eren berkata, "Armin. Aku akan mendapatkanmu kembali!"

Namun yang terngiang dalam kepala Armin adalah suara Jean malam itu, "Aku tahu kau dibalik pintu. Aku akan mendapatkanmu kembali!"

Mungkin benar, hati bisa berubah. Dan itu mengerikan. 

Kemarin dia bertengkar, menuding Jean seakan dia seorang gigolo yang haus perhatian sehingga cewek yang tidak disukai saja bisa dicium begitu saja. Sekarang dirinya sendiri membuktikan bahwa hal itu memang kadang tidak terhindarkan. Saat itu Armin hanya dilanda rasa takut berlebihan karena ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Dengan kedua orangtua yang pergi tanpa kembali, pengalaman dimana Eren meninggalkannya waktu SD dulu, Armin sudah cukup sering sakit hati karena merasa ditinggalkan. Akibatnya hal tersebut menjadi hal yang paling menyakitkan untuknya.

Hari itu, Armin menghabiskan waktunya di kamar, hanya berbaring saja dan terbenam dalam beragam pikiran. Mungkin bila dibawa tidur, semua perasaan kacau ini akan hilang setelah bangun nanti.

Kemudian sebelum tidur, dia teringat kembali janjinya pada Jean, "kalau kamu menghilang, aku akan mencarimu sampai dapat."

Entah apa hubungannya dengan masalah ini, tapi kenangan itu mengantarkan Armin menuju dunia mimpi. Malam itu Armin bermimpi tentang bintang-bintang dan hujan meteor. Dia sedang menonton hujan meteor itu di kaki bukit yang sepi bersama satu termos kopi susu yang hangat, dua cangkir kaleng, tertawa bersama orang yang dia cintai. Mimpi yang sangat damai.

Jangan Dekat-Dekat, Maho!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang