04

10.2K 1K 9
                                    

BAB IV

"Bukan sebuah pertemuan yang membuatku takut tetapi juga perpisahan yang akan dtanag kapan saja tanpa kita duga."

Sambil menggendong Arbi yang betah dalam dekapan, Maudy yang sesekali mengusap punggung kecil itu, Ia juga mengajak bicara makhluk kecil menggemaskan itu yang sudah tidak menangis lagi. Maudy merasa sangat menyayangi sosok itu meskipun tanpa sang ibu anak itu tumbuh dengan baik, menurut Maudy tentu saja tahu sang ayahnya pasti sangat menjaganya sekali dan mengawasi Arbi dengan baik. Namun Maudy bingung kenapa kali ini Arbi hilang dari pengawasan Ayahnya itu. Tanpa banyak bicara Maudy melangkahkan kakinya menuju rumahnya untuk meletakkan peralatan shalatnya dan sedikit memberi makanan untuk Arbi yang tentunya lelah menangis di tepi jalan tadi lalu membawa pada pak RT.

"Sayang kerumah Aunty dulu sebentar ya, nanti kita cari Daddy kamu."

"Iya Aunty." Terdengar suara menggemaskan itu yang makin betah menenggelamkan wajahnya di curuk leher Maudy.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam, Anak siapa itu Nak.?" Tanya sang ibu yang keheranan. Bagaimana bisa sang anak membawa balita yang begitu lengket dalam gendongannya.

"Anak hilang Bu." Jawab Maudy enteng.

"Lah, kenapa kamu bawa kerumah, nanti kamu di bilang penculik Nak." Ibu Mia mengekori Maudy yang terus berjalan dan mendudukkan balita itu di meja makan.

"Kasihan Bu, Maudy mau masakkan dulu. Dia kelaparan habis nangis tadi, nanti Maudy antar kerumah pak RT kok." Maudy menatap sang ibu lalu menatap Arbi yang duduk di kursi itu mengusap puncak kepalanya "Kamu mau makan apa sayang.?"

"Spajetiiii Auntyy." Pekiknya senang.

Maudy terkekeh melihat antusias Arbi "Oke, wait a minutes."

"Ayay Captain." Arbi berseru semangat.

Setelah itu Maudy meninggalkan Arbi yang kini di temani sang Ibu di meja makan, terdengar percakapan tidak penting, bahkan Ibunya terus meladeni balita menggemaskan itu. Rasanya semua begitu menyenangkan saat Ia bisa melihat binar bahagia yang dimiliki sosok itu, namun Maudy lantas mengeyahkan pikirannya—saat membayangkan ada seorang anak menunggunya di meja makan saat Ia memasak maka akan ada seorang pria yang dipanggil Ayah yang duduk bersama sang anak menunggunya atau sekedar merecoki kegiatan memasaknnya seperti yang ada di novel.

Bukan Maudy tidak tahu bahwa Ibunya gencar memberikannya pria-pria mapan menurutnya yang merupakan anak teman arisannya, namun entah kenapa Maudy tidak merasakan apa-apa bagi Maudy semua terasa hambar malah ketakutannya untuk menikah kian membucah. Bercermin dari perjalan pernikahan suci Tata yang akhirnya tidak bisa dipertahankan membawanya harus bertemu di meja hijau dan mendengar keputusan atas pernikahan mereka, lalu Ia terlalu takut saat menikah tidak bisa saling terbuka—selalu mendiskusikan sesuatu bukan keputusan sepihak seperti Ayah dan Ibunya yang tidak pernah cocok selalu saja ada hal spele yang membuat sang Ayah merajuk dan sang Ibu harus bersabar mengalah lalu meminta maaf.

"Spagethii In Here" Maudy membawa sebuah mangkuk besar spagethii buatannya dan meletakkannya di atas meja.

Ibu Mia mengambilkan piring Arbi dan mengisinya lalu menatap Arbi bahagia yang begitu semangat memakan masakan Maudy, Maudy membawakan air putih untuk Arbi. Tanpa mengganggu acara makan Arbi, Maudy duduk berhadapan dengan Arbi yang disampingnya ada sang Ibu.

"Mao nanti antarkan kue yang Ibu buat tadi buat tetangga baru kita ya." Ibu Mia menatap sang anak yang hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada Arbi.

"Ini sisanya siapa yang makan? Mubazir kalau gak di makan Nak." Ibu Mia bertanya pada sang anak yang kini menatapnya.

"Daddy, Daddy pasti nau." Arbi berkata semangat bahkan setengah dari yang diambilkan Ibu Mia sudah dilahapnya.

"Daddy Arbi suka Spaghetii juga.?" Tanya Maudy hati-hati. Melihat Arbi mengangguk antusias membuat Maudy mengambil Tupparware berwarna ungu dan memasukkan Spaghetii untuk Dadyy nya Arbi.

Setelah membungkus spagethii untuk Dadyy nya Arbi dan Arbi yang sudah selesai makan, Maudy lantas membawa Arbi dalam gendongannya dan menenteng tas Tupparware itu disebelah tangan kanan yang bebas. Mereka berjalan sambil sesekali Maudy mengajarkan sesuatu pada Arbi.

"Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim, Kha, Kho, Da, Dzal, Ro, Zai, Shin, Shiin, Shod, Dhod, Thod, Zho, Ain, Ghain, Fa, Qof, Kaf, Lam, Min, Nun, Wau, Ha, Lam Alif, Hamzah, Ya." Maudy menyanyikan huruf hijahiyah seperti mana yang ada di Upin-Ipin yang pernah Ia dan ponakan Elmira tonton.

"Lagi Auntyy." Arbi suka mendengar suara merdu milik Maudy, metode pembelajaran mengenal Al-Qur'an yang akan diajarkan Maudy sejak dini.

Selama perjalanan Maudy terus bernyanyi lalu sesekali diikuti oleh Arbi, bukankah anak kecil gampang mengikuti atau meniru perkataan orang dewasa dan perbuatannya. Maka sebaiknya itu dimanfaatkan untuk hal positif, bukan malah menunjukkan hal yang buruk pada mereka. Hingga suara gaduh di rumah pak RT membuat Maudy terhenti dan Arbi yang mendengar suara sang Ayah merengek minta di turunkan.

"BAGAIMANA BISA ANAK SAYA YANG MASIH BALITA TIDAK DI TEMUKAN DI KOMPLEKS INI, BUKANKAH KALAU KELUAR DARI KOMPLEKS INI ADA PARA SATPAM PENJAGANYA. KENAPA ANAK SAYA HILANG, PADAHAL SAYA BARU PINDAH DI SINI—YANG DIKATAKAN ORANG KOMPLEKS YANG AMAN. SAYA KECEWA". Pria itu berdiri membelakangi Maudy menghela nafas "ANAK SAYA ITU MASIH BALITA PAK, DIMANA DIA SEKARANG HAMPIR DUA JAM SAYA MENCARI TIDAK KETEMU JUGA. Bagaimana ini pak.?" Suaranya memelan diakhir dan terduduk di kursi sambil menutup wajahnya.

"DADDYYYYY." Arbi yang sudah turun dari gendongan Maudy lantas berlari menuju sang Daddy yang langsung berbalik badan dan membawa Arbi dalam dekapannya bahkan dari jauh Maudy bisa melihat seperti air mata atau keringat, entahlah Maudy tidak tahu.

"Alhamdulillah, Arbi baik-baik saja Nak.? Arbi darimana saja, Daddy cari Arbi. Kamu jangan main sendiri lagi ya sayang, ini beda dengan kompleks rumah Oma."

"Albi main cama Aunty cantiiiiik. Albi dibuatin spajetii enak Daddy, buat Daddy juga ada. Iyakan Aunty.?" Arbi memandang sang ayah berbinar lalu diakhir kata memandang Maudy yang terpekur melihat sosok Daddynya Arbi yang akhirnya meringis dan hendak kabur saja dari sana.

"Kamu."

Maudy siap dicaci maki di depan umum, ya Maudy harus siap mau tidak mau ya harus. Bagaimanapun Ia mencegah sosok itu pasti akan memakinya ataupun mempermalukannya. Bukan karena membawa sang anak namun karena kejadian tempo hari di Mall. Adegan-rebutan-tas.

Namun ekspentasi Maudy hancur saat sosok itu mengatakan "Terimakasih."

"Bagaimana bisa anaknya Pak Juna sama kamu Maudy.?" Tanya pak RT yang menatapnya penuh tanya.

"Oh itu Pak, tadi habis pulang dari mesjid terus lihat Arbi nangis, dilihat mukanya bukan anak kompleks sini jelas saya gak tahu orang tuanya, jadinya mau bawa langsung kesini eh si Arbi kelaparan saya masakkan dulu makanan dan biarkan dia makan baru saya bawa kesini pak. Maaf pak ya saya bikin orang-orang cemas."

"Nah itu tahu."

"Makanya anak itu diperhatikan, sampai hilang mana kelaparan gitu lagi." Gerutu Maudy pelan.

Telingan Juna masih dapat mendengar dengan baik gerutuan Maudy itu "Apa, kamu bilang apa.?"

"Oh gak apa-apa Pak." Maudy menggeleng.

TBC |09 Januari 2018

Jika mengalami ini mungkin kamus sudah mengidap Gamophobia.

Seseorang dengan rasa takut komitmen atau perkawinan dapat menunjukkan banyak gejala psikologis dan emosional pada pikiran atau subjek pernikahan/komitmen. Sering memutuskan sebuah hubungan atau selalu takut untuk membina hubungan serius, sering mengumbar teman kencan, tidak memiliki masa depan untuk membina sebuah keluarga dan sering melakukan hal-hal yang menyakitkan pada pasangannya yang menujukkan bahwa Ia mengabaikan perasaan pasangannya.

GAMOPHOBIA [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang