07

10.2K 1K 39
                                    

BAB VII

"Aku tidak menampik saat cinta itu hadir, tapi aku menutup diri tidak ingin berkomitmen lebih serius."

Tanpa mengganggu Maudy, Arbi juga tampak sibuk dengan pekerjaannya—mencoret kertas yang diberikan Maudy padanya. Sesekali Maudy tekekeh kecil menatap wajah serius milik Arbi yang tampak menggemaskan saat alis tebal itu menukik disertai kerutan di dahi Arbi, rasanya menyenangkan saat di ruangan itu bukan hanya ditemani suara music yang hanya satu arah tanpa ada makhluk lain yang menemaninya di ruangan ini, kini Ia merasa ada rasa senang yang membuncah didalam dirinya namun Ia harus mengeyahkan, Ia tidak boleh sangat menyukai Arbi karena takut akan merasa bosan nantinya, Maudy adalah type orang yang mudah bosan ketika Ia suka Ia akan sangat suka namun nanti bosan tidak akan melirik kembali.

Tidak terasa saat ini jam tengah menunjukkan saatnya makan siang, sudah beberapa jam berlalu yang Ia habiskan untuk bekerja, yang biasanya Ia tidak begitu perduli akan jam makan siang namun kini ada orang lain yang perlu diperhatikannya sebelum terjadi yang tidak-tidak pada balita tampan itu. Maudy beranjak dari meja kerjanya dan duduk disamping Arbi yang kini tengah menuliskan sesuatu, tampaknya karya buatan Arbi belum siap juga sejak tadi sedangkan Maudy sudah menyelesaikan 6 desain baju terbaru—bagaimana bisa selesai sedangkan sejak tadi saat merasa lelah atau jengah Arbi akan berlarian di ruangan Maudy kadang mengambil minuman ataupun makanan yang ada di dalam kulkas dan akhirnya berkutat lagi dengan tulisannya.

"Arbi, sudah waktunya makan siang Arbi mau makan apa.? Biar Aunty pesankan online ya."

"Albi mau cuchi, tapi kita kelual ya Aunty, bocaaaan."

"Arbi mau makan di luar.?"

Arbi mengangguk antusias pada Maudy, membuat Maudy mengusap pelan puncak kepalanya serasa mengiyakan maunya pangeran kecil itu. Hingga Ia teringat alasan adanya Arbi—sosok laki-laki angkuh itu "Aunty izin sama Daddy kamu dulu ya." Lagi Arbi hanya mengangguk seraya menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Huh, haruskah aku menghubunginya." Gerutu pelan Maudy.

Maudy kembali kemeja kerjanya meronggoh tasnya, mencari kartu nama yang diserahkan Juna tadi pagi, disana tertera nama dr. Arjuna Wirawan Idris Sp.B Ternyata Ia adalah seorang dokter spesialis bedah dan jabatan yang cukup tinggi sebagai Direktur betapa sempurnanya dia. Namun bukan itu yang penting membuat Maudy menggelengkan kepalanya dan mengeyahkan perkataan temannya mengenai profesi dokter yang bisa saja saat itu on call terlebih jika saat mereka sedang aaih Maudy merinding sendiri menghentikan kelanjutan pikirannya itu.

***

Juna sejak tadi gelisah berulang kali digenggamnya lalu diletakkannya lagi smartphonenya itu lalu berpura-pura sibuk dengan memeriksa rekap medis pasien yang ada di mejanya lalu diliriknya lagi smartphonenya dan berakhir menghempaskan punggung lebarnya dan menutup wajahnya dengan tangannya. Kenapa Ia menjadi gelisah sendiri, dan menunggu hal tidak pasti begini. Seharusnya tadi Ia meminta kartu nama atau langsung ID Line milik Maudy bukan sok-sokan ingin dihubungi, jika tahu begini maka Ia tidak akan melakukan itu atau jika tidak bisa menunggu lebih lama lagi Ia akan mendatangi ruangan Elmira meminta langsung ID Line sahabatnya itu lalu membuat Rumah Sakit Citra heboh sang atasan yang tidak pernah mendatangi ruangan dokter lain dan tersebar bahwa Juna sedang menggaet seorang gadis dan menciptakan kekacauan lainnya.

"Haaaah." Juna menghembskan nafas kasar hingga Ia melihat pergerakan di atas meja—lebih tepatnya smartphonenya yang bergetar.

Dengan gesit tangannya menyambar smartphonenya dan mendengus jengkel ketika melihat nama yang menelponnya tanpa ingin mengangatnya Juna meletakkan kembali smartphonenya dengan kasar hingga suara tawa seorang pria menggangu pendengaran Juna. Juna melihat sang sahabat—Fathur berdiri di pintu masuk sambil mengangkat smartphonenya menunjukkan panggilannya pada Juna. Tanpa disuruh masuk Fathur masuk dan duduk di sofa sambil memandang remeh sang sahabatnya itu—sahabat sejak mereka satu kamar asrama. Hingga mereka menjadi dokter senior di RS Citra ini. Bahkan sejak putus dengan Elmira, Fathur gencar menempeli Juna hingga dikira maho namun mereka tidak perduli.

"Nunggu telpon siapa Lo.?" Tanya Fathur dengan wajah menyebalkannya.

"Kepo." Juna berusaha sibuk dengan pekerjaannya—menghindari tatapan juga pertanyaan sang sahabat.

"Oke Lo gitu sekarang, main rahasiaan."

"Gue—"

Drrt.dddrt.

Mata Juna membulat sempura melihat jejeran nomor cantik yang sedang melakukan panggilan di smartphonenya tanpa menunggu getaran kedua Juna lantas mengangkat panggilan itu dengan berdeham seolah mengangkat telpon tanpa minat.

"Eheem."

"Assalamualaikum." Suara merdu namun terkesan cuek itu memenuhi pendengaran Juna

"Walaikumsalam."

"Maaf mengganggu kalau Bapak sedang sibuk, saya Maudy. Hanya ingin meminta izin mengajak anak Bapak makan di luar karena katanya Ia ingin makan sushi. Jadi apa boleh saya hem membawanya.?"

"Boleh."

"Aaa, terimakasih kalau begitu saya tut—"

"Tunggu saya di sana jangan pergi tanpa saya."

Tut tut tut.

Juna memutuskan panggilan dan beranjak dari duduknya sembari membuka jas putih khas dokter yang melekat ditubuh tegapnya itu lalu mengambil kunci mobil di atas meja mengantongi dompet dan smartphonenya. Ia melirik Fathur yang melongo melihatnya namun Ia tidak perduli dengan santainya bercermin menyisir rambutnya menambahkan parfume dan menggulung kemeja navy yang menampakkan lengan kekarnya. Juna tersenyum puas memberikan kode mata pada Fathur dan berlalu menghilang dibalik pintu besar itu.

"Shiit." Umpat Fathur.

Fathur bergegas keluar dari ruangan itu dan berjalan menyusuri tiap lorong rumah sakit sendiri, biasanya Ia akan makan bersama Juna terserah dimana saja asal tidak makan sendiri. Jika makan sendiri tampaknya Ia akan memesan makanan online saja—daripada status jomblonya kian kentara. Saat hendak melewati toilet Ia melihat Elmira yang baru saja keluar dari toilet dan saling bertatapan. Emira mengangguk sopan pada seniornya yang notabenenya adalah mantannya itu, namun belum sempat Elmira berjalan menjauh suara Fathur mengehentikan langkahnya.

"Apa kamu mau makan siang denganku.?" Sarat akan keraguan bahkan Fathur mengepalkan jemarinya di dalam saku celananya mengatasi kegugupannya dan resiko penolakan dari Elmira.

Namun tak perlu paksaan ataupun penolakan yang akan didengar Fathur. Elmira mengangguk meski tanpa membalikkan tubuhnya menghadap Fathur. Lantas senyum Fathur terbit dengan langkah santai Ia menghampiri Elmira yang masih terdiam. Dan mengajaknnya berjalan bersama tanpa menghiraukan pandangan dokter-dokter junior yang sedang bercengkrama juga perawat senior yang menatap mereka penuh tanya. Hubungan yang sempat kandas akankah kembali.?

TBC | 12 Januari 2018

Ada yang nunggu?

Risiko-risiko menyebabkan seseorang merasa takut menikah atau berkomitmen.

Pertama : Personal Insecurity. Keresahan personal adalah sumber yang paling umum ditemui. Takut akan munculnya tanggung jawab baru sebagai suami/istri maupun bapak/ibu. Selain keresahan juga ditemuka atas beberapa sebab. Misalnya ketidak mampan seseorang untuk bertahan dalam ikatan, keresahan berbagai hal personal, social, legal dan financial dengan oasangan serta factor seksual.Risiko-risiko dan kerentanan yang belum terjadi inilah yang menyebabkan seseorang merasa takut menikah atau berkomitmen.

GAMOPHOBIA [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang