11

9.4K 877 4
                                    

BAB XI

"Karena nyatanya bersama kamu semua terasa lengkap."

Juna mengendarai dalam diam seolah Ia adalah supir yang tidak diperbolehkan menggangu sang Tuannya. Matanya dari tadi sibuk melirik Arbi dan Maudy—saat ini Maudy sibuk mengusap pelan helaian rambut Arbi yang tengah tertidur dalam dekapan hangat seorang Maudy. Juna terdiam sepertinya memang Maudy yang cocok sebagai Ibu untuk anak-anaknya. Namun lidahnya terlalu kelu jika berhadapan dengan Maudy entah ucapan ketus dari bibir mungilnya itu atau karena tatapan tajam dengan mata menyipit itu yang membuatnya tergugu. Dan ini serius semua hanya karena seorang Maudy Galietha Ia seperti ini.

Setelah sampai di depan rumahnya Juna segera memarkirkan Range Rover miliknya dan berlarian keluar mobil untuk membuka pintu mobil bagian penumpang, rasanya Maudy akan kesulitan membuka pintu saat Arbi masih betah tidur dan salah satu diantara mereka pun tidak ada yang ingin membangunkannya. Setelah membukakan pintu Juna masih berdiri disamping pintu dan meletakkan tangannya pada bagian atas pintu mobil—seakan melindungi kepala Maudy dari benturan.

"Sini aku saja yang gendong." Tanpa banyak kata Maudy mengulurkan Arbi yang dalam dekapannya.

Setelah merenggangkan ototnya yang menimbulkan sedikit bunyi dan berlalu menuju kerumahnya namun terhenti saat Juna meminta tolong padanya.

"Kamu tega, kamu gak lihat saya gendong Arbi gini. Ya bantu buka pintu rumah gak bakalan menguras tenaga banyak." Juna berkata santai menatap punggung Maudy yang bergerak keatas lalu kebawah—menandakan Ia sedang menarik nafas lalu melepaskannya.

Saat hitungan ke lima Juna lantas menampilkan wajah datarnya berusaha menghilangkan seringaian diwajahnya saat Maudy menatapnya tajam "Mana kuncinya." Tangan mungil, putih dan mulus itu terulur dihadapan Juna.

"Ada di.." Juna sengaja menggantungkan ucapannya dan akhirnya menunjuk saku celana kanannya dengan lirikan matanya "Di saku celana kanan saya."

"APAA..?" Maudy terpekik mendengarnya. Bagaimana Ia harus melakukan itu atau ini akal-akalan duda-yang-haus-belaian.

"Stttt, teriakan kamu bisa bikin Arbi bangun." Juna seolah mengabaikan alasan Maudy berteriak dan malah menasehatinya.

"Biarkan saja, biar dia bangun dan kamu bisa mengambil kunci rumah dan membuka pintu itu." Maudy menujuk pintu bercat cream "Dengan tangan kamu sendiri."

"Kamu tidak kasihan sama anak saya."

"Bapak yang tidak kasihan sama saya, nyiksa saya.?"

Juna mengangkat sebelah alisnya "Kenapa saya nyiksa kamu.? Kalau masalah Arbi yang dititipkan ke kamu kan kamu yang mau, jadi saya tidak nyiksa kamu."

"Omong kosong." Seolah ingin menyelesaikan pembicaran yang berhubungan dengan Juna dengan cepat tanpa dicegah tangannya mengambil kunci disaku kanan Juna terlalu gesit bahkan Juna tidak sadar bahwa Maudy sudah membukakan pintu rumahnya dan berlalu dihadapannya yang membeku.

'Sial, ide sialan. Bagaimana senjata makan Tuan seperti ini.' Batin Juna.

Seolah tersadar Juna berbalik menatap punggung kecil yang kini sudah akan membuka pagar rumahnya itu "Terimakasih untuk hari ini Maudy."

Maudy melirik duda-sialan itu dengan ekor matanya tidak ingin berbalik karena Ia merasakan pipinya memanas dan bisa dipastikan merona—Ia pun merasa tindakan bodohnya itu bukan itu adalah tindakan refleks saat otak meringimkan sinyal kepada syaraf dan menggerakkan tangannya.

***

Setelah mandi Maudy dengan kaos biru longgarnya dan celana training hitamnya menuruni tangga rumah tak lupa handuk membalut kepalanya yang masih basah setelah mandi. Maudy mendengar suara-suara dari ruang depan dan melangkahkan kakinya cepat. Lalu dilihatnya lah sosok abangnya yang tinggal di Medan kini tengah datang—mungkin untuk mengunjugi mereka. Membawa anak dan istrinya.

"Mas Milaaaaaaan." Pekik Maudy dan masuk dalam pelukan sang abang yang telah lama tidak dijumpainya.

"Ooo Mao Mao, kangen ya.?" Milan–abang kedua Maudy mengoda Maudy.

"Kangen dong." Setelah melepaskan pelukan itu lalu Ia memeluk sekilas kakak iparnya--Aurelina dan terakhir Ia memeluk dan mengajak sang keponakan yang seumuran dengan Tara itu.

"Assalamualaikum cantik." Sapa Maudy saat mensejajarkan tubuhnya dengan Anggun.

"Acalanuailtum.?" Ulangnya bingung.

"Assalamualaikum sayang, itukan salam yang sering diucapkan kaum mauslimin saat berjumpa. Jadi Anggun harus membiasakan mengucapkannya ya." Maudy berkata tenang meskipun dalam hatinya Ia sedikit menyayangkan pelajaran apa saja yang diajarkan Aurelina sebagai seorang ibu di rumahnya.

"Ayo masuk, Milan—kalian bisa menggunakan kamar lama kamu ya kamar itu masih sering dibersihkan kok. Langsung bawa barang-barang kamu kesana ya dan istirahatlah."

"Iya Bu."

Aurelina hanya berbeda dua tahun dengan Maudy sedangkan Milan mereka berbeda lima tahun. Bukan Ia tidak merestui Aurelina dan Milan namun ada sifat dan sikap Aurelina yang tidak disukai Maudy seperti saat ini Aurelina langsung bergegas menuju kamar tanpa membantu abangnya. Membuat Maudy mendengus dengan sikap yang dimilki Aurelina itu, namun Ia tidak akan ambil pusing tidak ingin memancing keributan di rumahnya sendiri dan berpikir positif mungkin itu karena Ia kelelahan dan ingin segera tidur.

"Anggun ikut Aunty yuk, ke kamar Aunty." Anggun yang masih dalam gendongan Maudy mengangguk antusia dan melambai pada sang kakek dan nenek.

"Mauuu. Dadah.."

"Maudy kekamar dulu ya Bu, Yah."

"Iya, kamu juga jangan lupa istirahat ya Maudy." Suara tegas sang Ayah membuat Maudy mengangguk dan tersenyum lebar.

Setiap anak perempuan sangat menyayangi dan mencintai sang Ayah, baginya Ayahnya adalah sosok cinta pertama dalam hidupnya, Raja dalam takdirnya. Begitupula dengan Maudy yang sengat mencintai sosok itu dan juga sang Ibu. Saat kecil Ia bermimpi ingin menemukan sosok seperti Ayahnya, namun harus Ia pupuskan karena Ia tidak bisa menemukan sosok seperti itu dan tidak ingin menggantikannya dengan yang lain. Maudy, tidak bisa.

TBC. |16 januari 2018

Saat pergi resepsi bareng-bareng jangan di tanya kapan nyusul. Nanti hancur pernikahannya.

GAMOPHOBIA [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang