Semburat kemerahan mirip bara api menghiasi langit, matahari telah tergelincir ke ufuk barat melakukan tugasnya untuk menyinari bagian lain dari bumi. Dua orang pria berjalan bergandengan memasuki areal pemakaman, salah satunya memakai jas berjalan di samping pria memakai baju hangat berwarna putih gading tebal, Yunho dan Jaejoong.
Yunho membawa seikat bunga dan sebotol wiskey kesukaan Caro di tangan kiri dan tangan kanannya setia mengandeng tangan Jaejoong untuk berjalan. Mereka berjalan di antara batu nisan yang berjajar rapi.
Janji adalah hutang dan prinsip seorang Jung Yunho harus segera membayar hutang secepatnya. Sebab itu di sanalah mereka berdua saat ini, di pemakaman tempat peristirahatan terakhir Caro. Memenuhi janjinya untuk mengenalkan anggota keluarganya meski belum resmi.
Ia sudah menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Caro pada Jaejoong saat di perjalanan dan bagaimana pria itu meninggal. Meski ia menghilangkan bagian di mana ia menjadi sebatang kara karena ditinggalkan ibunya serta cerita tentang ayah yang selalu memukulinya dan berakhir di penjara. Kabar yang ia dengar dari ayahnya adalah kabar kepergian sang ayah yang akibat overdosis obat-obatan terlarang di dalam penjara. Bagaimana ayahnya mendapatkannya ia tidak berusaha untuk mencari tahu, lebih tepatnya ia sama sekali tidak perduli.
Di samping Yunho, Jaejoong berjalan lambat dan sepertinya Yunho memang melambatkan langkahnya untuk menyamai kecepatan jalan Jaejoong. Wajah Jaejoong terlihat lelah, mata sembab sehabis menangis. Entah berapa lama ia menangis dipelukan Yunho, pria yang kini memimpin jalannya. Dibalik sifat angkuh, egois dan semena-mena, tersembunyi kelembutan yang tulus. Sekali lagi Jaejoong mulai memahami pria gagah itu lebih dalam.
Sejak memasuki areal pemakaman, pria itu lebih banyak diam. Apa yang dipikirkannya, Jaejoong juga tidak tahu. Ia hanya mengamati tampang samping kanan wajah Yunho. Ada bekas luka lama di dekat mata, memanjang. Mungkin bekas luka yang ia dapat saat menjadi petarung didikan Caro, pikirnya.
Simpatikah? Atau memang sejatinya Jaejoong sudah terpikat pada pria itu, sampai ia juga merasakan kesedihan dan penderitaan yang dirasakan oleh Jung Yunho di masa lalunya. Ia tidak tahu pasti apa yang ada dirasakannya saat ini pada Yunho.
Suka? Cinta? Entahlah. Mengartikan apa yang sedang ia rasakan sangat sulit baginya. Ia selalu dibuat bertanya-tanya dengan sikap Yunho. Awalnya Yunho memperlakukannya sebagai seirang budak, kemudian memperlakukannya secara special hingga ia pikir kalau ia telah jatuh cinta. Tapi kemudian Yunho kembali memperlakukannya sebagai orang yang bisa ia beli dengan uang. Lalu ia kembali memperlakukan Jaejoong selayaknya seorang kekasih, bahkan rela berlutut demi anak yang dikandungnya kini.
Jaejoong ingin menanyakan tentang semuanya tapi ia takut jika jawaban Yunho akan menyakitinya. Ia belum tentu sanggup jika harus mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Setelah apa yang terjadi, ia tidak siap jika harus menanggung luka yang lain. Luka yang didapatnya dari penolakan keluarganya sudah cukup meruntuhkan dunianya.
Yunho menghentikan langkah di depan sebuah batu nisan marmer setinggi batas paha atas berwarna abu-abu dengan nama 'Caro' di atasnya, di bawah namanya terukir sebuah tulisan apik yang berbunyi.
"Dari si Tua Caro
Petarung sejati bukan mereka yang menang di atas arena tapi
Petarung sejati adalah mereka yang bisa mengalahkan hidup untuk jadi yang terbaik."Ucapan terakhir Caro pada Yunho. Di nisan itu hanya ada nama Caro, tidak ada embel-embel marga atau nama asli tidak juga dengan gambar foto. Karena Yunho pun tidak pernah menanyakannya, ia hanya tahu nama pria itu Caro dan ia adalah seorang petarung.
Yunho menekuk kedua lututnya, membuka botol wiskey kesukaan Caro, menuangkan isinya ke dalam dua paperglass yang sudah ia siapkan. Meletakkan satu di depan nisan Caro dan menenggak gelas yang lain.
YOU ARE READING
Love, Hate & Hurt (Yunjae Fanfiction 21+ /MPreg)
FanficAnother love story about Yunjae