7B

2.3K 311 7
                                    


Dion udah nunggu di parkiran sepeda, lengkap dengan helm bulat model topi perang di kepala. Untung Dion ganteng, jadi nggak aneh-aneh banget tuh tampangnya pake helm begituan. Tubuhnya yang jangkung berdiri tenang di bawah keteduhan pohon, sepasang matanya yang dalam dan kerap sepi emosi itu memandang lurus ke arah datangnya Ara. Setelah cukup dekat baru deh Ara kepingin ketawa, habis rambut si Kriwil jadi kempes dan kayak berenda di bawah helm.

"Kenapa?" Dion rupanya tahu juga dirinya diperhatiin.

"Tampang lo jadi lucu. Pake helm," sahut Ara.

Dion membuka mulut sebentar, mungkin tadinya pengin ngomong sesuatu, tapi trus batal.

"Gue juga lucu kalo pake helm. Makanya gue jadi males pake."

"Bahaya kalo nggak pake helm."

"I-yes sir," ujar Ara seraya mengenakan topi jingganya. "Tapi gue pake topi aja ya. Cakep nggak?" katanya sambil mendongak menghadap Dion dan tersenyum lebar. Sinar matahari yang seperti tersaring dedaunan pohon akasia yang menaungi mereka jatuh di wajah yang tersenyum lebar itu.

Dion terkesiap. Terus buru-buru manggut tanpa memandang cewek di hadapannya. "Yuk, ntar keburu hujan," katanya. Sama sekali nggak nyambung, karena hari sedang cerah-cerahnya.

Aneh.

Di lampu merah Ara ngomong lagi, "Gue nggak lolos audisinya."

Dion hanya menatap. "Gue nggak tahu mau bilang apa," katanya sopan.

Bikin Ara pengin banget ketawa ngakak. Abis, aneh banget!!! Kayak di sinetron pas adegan ada yang mati.

Di lampu merah kedua Ara nyeletuk, "Lo dapat salam manis," sambil masang tampang usil gitu. Tapi cuma dibalas dengan tatapan datar. "Diooooooon!! Iih! Senyum kek, ketawa kek, manggut-manggut kek," ujarnya pura-pura cemberut.

"Ya udah, salam balik kalo begitu," ujar Dion tanpa menanyakan siapa si pemberi salam.

Di lampu merah berikutnya Ara nyoba lagi, " Ulangannya udah dibagi lho, Yon."

Sekali ini Dion menatap cewek itu dengan sedikit antisipasi. "Bagus?" tanyanya.

"Bentar gue tunjukin sebagus apa," ujar Ara seraya turun dari sepedanya. "Pegangin, Yon!" katanya. Didekatkannya setang Polygon merahnya yang langsung dipegangi Dion.

Trus tahu nggak yang dilakukan cewek itu? Ara jejingkrakan di dekat sepeda mereka sampe nyaris kesamber motor!

Sungguh, Dion belum pernah kenal cewek kayak begini. Culun, seenaknya, nggak tahu malu, dan entah kenapa hari ini begitu ramah padanya. Dan sekarang cewek ini mengangkat-angkat kedua tangan seolah nyembah-nyembah Dion. Bikin Dion nggak tahan untuk nggak tersenyum. Tersenyum pada gayanya yang norak, tersenyum pada kehangatan yang ditularkannya, tersenyum pada caranya mengucapkan terima kasih.

"Nah, gitu dong, Kakak Kelas Dua Belas. Tersenyum, tersenyum, biar pada berdatangan semua kebahagiaan," ujar Ara, wajahnya bersinar-sinar, kedua lesung pipinya menambah manis tampangnya, dan entah mengapa membuat hangat hati Dion.

"Ayo naik sepedanya lagi, lampu merahnya tinggal sepuluh detik," ujar Dion, tapi bibirnya sudah tersenyum cukup lebar, bikin Ara seneeeeng, berasa dapet door prize yang hadiahnya jadi bintang lapangan bola.

Di depan gerbang rumah Dion, Nenek udah nunggu, wajahnya penuh senyum. "Nenek dengar dua bel, bukan satu," katanya. Ara segera mengintip dari belakang tubuh Dion yang jangkung. "Ah, Lexara. Berarti tebakan Nenek benar. Ayo masuk. Kenapa kemarin tidak datang?"

Dion membukakan pintu gerbang dan menyilakan Ara masuk lebih dulu. "Jadwal belajarnya kan memang cuma Selasa dan Kamis, Nek," kata Ara seraya mendorong sepedanya.

"Ah, omong kosong. Datanglah setiap hari. Ya, kan, Yon?" ujar Nenek, lalu tanpa menunggu Dion, menggandeng Ara masuk, meninggalkan Dion yang geleng-geleng sambil nahan senyum. Baru beberapa kali Ara kemari, Nenek udah kecanduan. Kemarin waktu tahu Ara nggak bakal datang, Nenek terus aja merongrong Dion dengan berbagai pertanyaan kenapa Ara nggak muncul.

"Kan dia juga banyak kegiatan, Nek," kata Dion.

Nenek menatap Ara. "Ayo, ceritakan semua kegiatan kamu," katanya.

"Boleh. Tapi nanti Nenek gantian yang cerita, ya?"

"Dia ke sini buat belajar, Nek," tegur Dion lagi. Tapi terus Dion melihat Ara memberi isyarat dengan tangannya sambil mendelik-delik.

"Ngobrol dulu nggak pa-pa kok, sekalian ngeringin keringat," kata Ara lagi, terus berdua Nenek duduk di teras belakang ditemani Mimin.

"Kamu udah ketemu sepupu Dion?" tanya Nenek sambil setengah menarik Ara ke beranda belakang. Mendengar itu Dion segera memasang telinga, menunggu kelanjutan percakapan itu.

"Siapa namanya, Nek?" ujar Ara manis. Sekarang, setelah beberapa kali bertemu Nenek, Ara tahu kadang-kadang pikiran Nenek suka melompat-lompat, dan biasanya sering juga keluar dari kenyataan.

"Nenek lupa. Nenek sering lupa akhir-akhir ini..." keluh Nenek, nadanya muram.

"Sudah, sudah, kita ngobrol yang lain aja," Ara menenangkan, lalu beranjak duduk di sebelah Nenek. Dan ketika itulah dia melihat buku sketsa itu. Tergeletak di meja kecil di samping sofa tua berwarna cokelat.

"Ini..." Ara membuka lembar-lembar buku sketsa itu. Ada Nenek. Tante Evi. Mimin. Dan ada Ara juga... dalam goresan-goresan halus dan indah yang hidup.

"Itu punya Dion. Bagus, kan?"

Bagus. Bagus. Banget, malah, kata Ara seraya tersenyum hangat.

Nenek mengangguk-angguk, lalu mulai bercerita lagi, sementara Ara dengan enggan meletakkan buku sketsa itu.

Tak lama kemudian Dion sudah mendengar suara tawa keduanya dari belakang sana. Entah apa yang mereka tertawakan. Entah apa yang mereka obrolkan. Yang jelas suara tawa mereka bikin hati Dion terasa hangat.


SECRET LOVE (edisi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang