16B

1.5K 176 2
                                    


Dion tahu satu hal: kalau dia tidak mengubah sikapnya pada cowok yang dicintai Ara, dia akan kehilangan sahabat. Dan dia tidak mau itu terjadi. Bukan karena orang itu Ara, tetapi karena cowok yang dicintai Ara adalah Randy.

Dion ingin ada setiap kali Ara butuh teman. Dion ingin Ara tahu bahwa dia akan selalu bahagia untuk kebahagiaan Ara. Dan bahwa Ara selalu bisa bicara apa pun, bahkan tentang Randy sekalipun, kepada Dion.

Baru saja Dion mengulurkan tangan mengambil HP-nya ketika dering Ara berbunyi. Ah, telepati, pikirnya. Dia melirik jam. Sepuluh.

"Lexa... maaf. Kemarin. Waktu lo cerita soal jadian sama Randy, tanggepan gue sama sekali nggak asyik."

Diam.

"Lexa..."

"Gue nggak pernah ketemu orang kayak dia, Yon."

Dion mengerutkan kening. Menyimak dengan lebih khidmat. Suara itu seperti suara sehabis tangis yang panjang.

"Dia bikin gue ngakak. Enteng. Melambung tinggi. Dia bikin gue merasa penuh. Kosong. Gonjang-ganjing. Konyol. Jengkel. Nano-nano. Dia... bikin gue hidup. "

"Lo... hepi?" tanya Dion hati-hati.

Desah yang panjang. Di seberang sana, di tengah kegelapan kamarnya yang sempit, air mata Ara mengalir pelan tanpa suara. "Dia kayak gue. Nggak serius, sesukanya, pemberontak, emosional, dan kesepian... Kalau lihat dia, gue jadi kayak lihat diri gue sendiri. Gue jadi lebih ngerti diri gue..."

"Lo sayang sama dia?"

"Dia minta gue berhenti temenan sama lo, Yon."

Deg.

Dion tercekat. Jantungnya berderap seperti sepasukan kuda menuju medan perang.

"Dia selalu curiga ada sesuatu di antara kita. Dia... nggak tenang. Dia menderita. Sedih gue lihat dia begitu. Kasihan."

Dan lo nggak kasihan sama diri lo sendiri? Sama gue? ingin rasanya Dion berteriak begitu. Tapi nggak jadi. Dia tidak ingin jadi beban tambahan yang membuat kesedihan cewek ini semakin tak tertahankan.

Sepotong tawa miris terdengar di seberang. Tawa yang getir.

"Gue jadi inget ceritanya Shakespeare itu, Yon. Yang suaminya curiga istrinya selingkuh, trus istrinya dibunuh? Apa judulnya? Yang lo bacain buat Nenek itu..."

"Othello?"

"Iya. Cemburu aja udah bisa menciptakan neraka. Apalagi kalo cemburu yang ditambah benci." Suara desahan yang dalam. "Gue nggak tahu ada apa di antara kalian sampai dia benci banget sama lo. Tapi yang jelas, gue nggak mau jadi Desdemona, istri Othello itu."

Dion terdiam sebentar, lalu dengan hati-hati dia berkata, "Kalau nanti dia minta lo nggak temenan sama Monik dan Kimi, lo juga bakal nurut?"

"Nggak ada alasan, kali, dia ngelarang gue temenan sama dua orang itu!"

"Loh, seandainya! Bisa aja dia nggak mau lo bagi waktu lo buat Monik dan Kimi, misalnya."

Ara terdiam. Bukannya dia nggak ingat semua absen dan telepon dan SMS dan imbauan Randy untuk memberitahunya ke mana Ara mau pergi, dengan siapa, naik apa, pulang jam berapa. Bukannya dia nggak teringat nada protes yang dilontarkan Randy meskipun Ara memberitahu dia sedang nongkrong bareng Monik dan Kimi... Mengapa semula semua itu tertangkap olehnya sebagai isyarat cinta? Semua kekhawatiran itu? Sikap posesif itu? Kecemburuan Randy?

Kemudian bayangan Randy berkelebat di benaknya. Dan lagi-lagi hatinya tersentuh oleh kerapuhan cowok itu. Oleh cintanya yang rawan. Yang mengikat Ara. Dan akhirnya memaksa Ara memilih.

"Dan kalau nanti dia minta lo berhenti genjot sepeda, melupakan bola, nggak lagi naik gunung..."

"Udah, udah! Gue nggak mau berprasangka buruk sama Randy. Dia nggak jahat. Gue percaya dia bersikap begitu karena sayang banget sama gue..." ujar Ara, emosinya mulai terpancing.

Di seberang telepon, Dion terdiam. Dia menghela napas dalam-dalam. Hatinya tidak kalah tersiksa oleh berbagai protes dan kejengkelan yang ditahannya sendiri: Kok mau-maunya sih lo? Bukannya lo salah satu cewek nggak kenal takut itu? Yang kalo ngomong serba blakblakan itu? Yang nggak pernah ragu dan selalu tegar itu? Kenapa lo jadi begini? Lemah? Nggak berdaya? Bahkan suara lo seolah kehilangan kekuatannya.

"Yon. Please! Ngertiin posisi gue. Gue sama nggak sukanya dengan semua urusan ini. Tapi gue sayang sama dia. Jadi jangan ikut-ikutan mojokin gue kayak gini!" tukas Ara.

Dion masih terdiam. Menenangkan hati. Menyusun kata-kata. Sebab dia tahu, setelah ini nggak bakal lagi ada kesempatan untuk berbicara dengan cewek ini. Jantungnya mendadak lari maraton membayangkan hari-hari tanpa Ara.

"Udah ah. Gue..."

"Lexa... Gue tahu lo sedih. Dan gue sendiri juga sedih," Dion berkata dengan penuh perasaan. "Tapi sebelum kita berhenti temenan, ingat, Lexa. Jangan pernah kehilangan diri lo. Jangan. Banyak orang kehilangan diri mereka, entah demi cinta, keinginan orangtua, cita-cita... dan nggak ada yang baik datang dari semua itu. Tidak ada. Kecuali kesedihan."

Maka malam itu ada dua tangis. Dan kali ini kedua tangis itu tidak bisa saling menguatkan, karena tangis itu dilahirkan bukan untuk satu sama lain, melainkan bagi diri sendiri. Tangisan yang meninggalkan. Dan yang ditinggalkan.

SECRET LOVE (edisi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang