12B

2.1K 209 3
                                    


Untung banget keesokan harinya Bibi udah muncul lagi di rumah, setelah Dion menelepon dan cerita Ara sakit. Bapak jelas lebih susah diminta pulang mendadak, soalnya dia terikat jadwal yang udah diatur jauh-jauh hari oleh kantornya. Dion masih nginep di rumah Ara sampai Senin, tentu saja setelah minta izin Ibu, sebab dia nggak tega ninggalin Ara cuma berduaan aja sama Bibi. Kalau ada apa-apa gimana? begitu ia berkilah pada Ibu yang manggut-manggut sambil tersenyum simpul.

"Kok pas Sabtu itu bisa-bisanya lo nongol di rumah gue?" tanya Ara. Waktu itu hari Senin, sepulang dari sekolah Dion langsung menggenjot Federal-nya menuju rumah Ara. Cewek itu kelihatan jauh lebih segar, udah bisa mandi, dan demamnya udah ilang. Kata dokter, untung Ara lekas diperiksakan ke dokter, jadi bentol-bentol cacarnya nggak keburu menyebar ke mana-mana, cuma di sekitaran wajah, leher, dan tangan. Itu pun nggak terlalu banyak. Sekarang dia sedang asyik menotol-notolkan salep di bentol-bentolnya, sementara Dion menunggu dengan sabar dengan buku cetak dan buku tulis Kimia Ara berserakan di atas meja di depannya.

"Emangnya nggak inget?" Dion mendongak memandang Ara.

Ara menggeleng sambil terus mengoleskan salep.

"Lo nelepon gue," ujar Dion seraya menatap Ara.

"Yang bener?" Ara menghentikan kesibukannya lalu balas memandang Dion.

"Iya. Lo cuma bilang, 'Yon, gue mimpi Mama.' Suara lo terdengar aneh. Kayak sakit gitu. Trus lo nggak ngomong apa-apa lagi, padahal gue terus-terusan manggil-manggil elo.

"Akhirnya gue telepon Kimi. Untung mereka belum sampe di tujuan, jadi masih boleh pegang hape. Kimi bilang lo sakit. Di rumah sendirian. Jadi gue langsung kemari."

"Oh." Mereka bertatapan, tapi kali ini Ara duluan yang memalingkan wajah, pura-pura sibuk menotolkan salep. "Makasih ya, Yon. Udah jadi temen yang baeeeek banget," bisiknya. Dan dari sudut matanya ia melihat Dion tercenung sebentar, lalu mengangguk pelan.

PRIIIIIIIITTTT!

Peluit tanda selesainya pertandingan bola antarangkatan sore itu berbunyi. Tim XI-3 menang tipis 1-0. Dari kejauhan tampak sang kiper ketawa lebar sambil tos kiri-kanan. Beberapa pemain nguyel-uyel kepalanya dengan gemas. Ada lagi yang memeluk dan menepuk pundaknya. Kemenangan ini bisa dibilang di luar dugaan, mengingat tim mereka dianggap tim abal-abal, sama sekali nggak masuk itungan. Dan sang lawan adalah juara bertahan: Tim XII-1.

Dion tersenyum menikmati semua kehebohan di tengah lapangan itu. Matanya selalu tertuju kepada sang kiper, yang sekarang sedang membetulkan ikatan rambutnya sambil ngomong entah apa dengan beberapa temannya. Lalu lagi-lagi si kiper ketawa lebar, wajahnya menengadah ke langit.

Dion berdiri sambil memeriksa jam di tangan kirinya. Sebaiknya dia pulang sekarang. Nenek sendirian. Dipungutnya ransel cokelatnya, lalu dia berbalik hendak beranjak dari sana ketika suara itu memanggilnya. Pake TOA! Ya ampun! Panggilannya membahana ke seantero tempat itu.

"D-I-O-N N-A-T-H-A-N-A-E-L!!" terdengar dari tengah-tengah lapangan.

Tapi Dion sama sekali nggak marah. Atau menganggap hal itu memalukan. Dia hanya melambai. Cewek mungil itu balas melambai-lambai, meletakkan TOA, lalu berlari-lari kecil ke tempat Dion berdiri. Tampangnya sungguh ceria. Senyumnya lebar dan puas diri. Tapi tahu-tahu di tengah jalan ke arahnya, cewek itu berhenti dan menoleh ke kiri. Sepertinya ada memanggil cewek itu.

Dion memperhatikan. Randy. Dan sekarang cowok itu berjalan menghampiri Ara. Beberapa saat keduanya tampak bercakap-cakap. Lalu Ara menunjuk Dion. Melambai sebentar ke cowok itu. Kemudian Ara berpaling, meneruskan jalan menuju Dion.

SECRET LOVE (edisi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang