20 B

2.2K 165 1
                                    


Randy membuka mata. Kamarnya gelap. Tirai biru muda tebal yang menggantung di jendela menghalangi sinar matahari masuk.

Jam berapa ini? Randy mencoba menggerakkan leher. Namun langsung aja mengurungkannya. Pandangannya berputar. Perutnya bergolak. Dia bergegas bangkit dan mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi. Sial.

Bayangan Ara berkelebat di benaknya. Ingatannya datang sepotong demi sepotong. Juga kemarahannya, yang semakin lama semakin mencekik. Dia ingat beberapa minggu yang lalu tersadar dirinya mulai jatuh cinta pada cewek itu. Dan memutuskan untuk menutup hatinya rapat-rapat. Dia nggak boleh jatuh cinta. Semua ini permainan belaka. Semua ini dilakukannya untuk melukai Dion. Bukan untuk jatuh cinta.

Randy mencuci muka, lalu mendongak dan menemukan bayangannya di cermin. Dia tertegun lama sekali. Lalu muncul bayangan Ara. Menatapnya sedih.

"Dion nanyain kamu, Ra," Randy teringat sepotong percakapan yang tanpa sengaja didengarnya kurang-lebih dua minggu yang lalu.

Waktu itu Randy pergi sebentar meninggalkan Ara untuk membeli minuman dingin, dan ketika kembali, dilihatnya Ara duduk bersisian dengan Monik. Wajah mereka tidak terlihat, tapi suara mereka jelas tertangkap oleh telinganya.

"Gue baik-baik aja. Lo berdua gimana? Udah jadian?" tanya Ara.

Monik ketawa. Ringan. "Jadian dari bulan!" ujarnya.

Ara mengerutkan kening. Bingung. Dia pikir...

"Kami cuma temenan," ujar Monik. Tapi wajahnya sama sekali nggak keruh. "Dia teman yang baik lho, Ra," sambungnya.

Ara tersenyum. Teringat Dion. Dia mengangguk serius. "Ya, dia memang teman yang baik," ujarnya. "Gue pikir kalian langsung jadian."

"Dia jatuh cinta sama cewek lain," ujar Monik hati-hati.

Deg.

Ara menatap Monik tidak mengerti.

Perlahan Monik menyodorkan sepucuk amplop yang udah lecek dari tasnya. Ara langsung mengenalinya. Itu surat Dion untuk Monik .

"Baca deh. Semua isi suratnya tentang cewek itu," ujar Monik.


"Dari mana aku memulai, menceritakan tentang sesosok makhluk mungil yang tak pernah berhenti mengejar matahari? Ia hadir begitu saja, menggedor-gedor pintuku dengan segenap kehidupan yang dibawanya serta. Banyak yang diam-diam ingin kukatakan padanya semenjak pertama kali aku memandang wajahnya. Bahwa ia telah membangunkan jiwaku dan mengisinya penuh dengan harapan. Bahwa ia telah mengembuskan napas ke dalam diriku dan membuatku hidup. Bahwa ia telah mengisi setiap hening dalam duniaku hingga aku tak lagi kosong.

"Ah. Semua gelegak yang diciptakannya ini, semua rasa ini, semua degup dan harapan yang dibangunnya ini... Ingin rasanya kuceritakan padanya apa yang diisinya penuh-penuh di dalam sini, tapi aku takut ia bakal pergi. Aku tidak ingin kehilangan dia, tidak setelah ia membuatku tersadar bahwa selama ini aku telah hidup dalam kosong yang dalam..."

Lalu Ara tersadar menemukan dirinya ada di sana, di antara setiap kata yang tertulis di sana. Ah. Ara merasa aneh. Sangat aneh. Jantungnya tidak berdegup kencang, sebaliknya dia merasa sekujur tubuhnya lemas. Seolah segenap tenaga terisap habis dari dirinya.

Deg.

Selama ini rupanya dia keliru menyangka. Selama ini dia tidak tahu. Selama ini...

"Gue nggak pernah tahu..." bisik Ara parau.

Monik merangkul bahu Ara. Mereka terdiam cukup lama.

"Dia cerita tentang Randy," ujarnya lagi. "Dia mengkhawatirkan kamu, Ra."

Deg.

Randy. Randy.

Nama itu seolah menyentak Ara. Ditatapnya Monik lekat-lekat. Lalu menelan ludah. Dia membuka mulut seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian terdiam. Ingin rasanya dia bertanya apa aja yang sudah diceritakan Dion tentang Randy. Tapi... tapi rasanya seolah dengan begitu dia mengkhianati Randy.

Bayangan wajah Randy berkelebat lagi. Kemarahannya. Kegelisahannya. Kerapuhannya. Ara nggak ngerti apa sebenarnya yang menyulut semua api emosi cowok itu. Apa yang bikin dia seperti terperangkap. Apa yang menjeratnya. Dia hanya percaya meski sekarang sulit bagi Ara untuk melihatnya, bahwa cowok itu menyayanginya.

Ah, kalau saja Randy bisa mengatasi semua kekalutannya. Kalau saja Randy bisa melepaskan semua kegetirannya. Lukanya.

"Gue... gue baik-baik aja kok. Randy sayang banget sama gue," ucapnya, sama sekali tidak menyadari bahwa ucapannya itu malah menyulut kemarahan baru di hati Randy. Kemarahan yang lahir dari penyangkalan terhadap cinta yang tumbuh di hatinya sendiri, dari keinginan untuk menyakiti orang lain, dari...

Oh, betapa Randy tidak ingin mengingat percakapan itu lagi. Maka sekarang dia mencuci wajahnya lagi dengan air dingin. Lalu berdiri tegak, mengibaskan rambutnya yang basah.

"Dan inget, lo akan sayang dia sepenuh hati. Lo akan bikin dia bahagia," kini ada bayangan Dion, berbicara dari dalam cermin.

Arrrrggggghhhh!!

"Persetan! Dan lo pikir gue bakal mengiyakan perintah lo itu?! Persetan! Persetan! Lihat aja nanti! Akan gue hancurkan dia! Gue hancurkan! Dan kita lihat apa yang akan lo perbuat! Kita lihat! KITA LIHAT!" amuknya. Dan bersamaan dengan itu dikepalkannya tangannya erat-erat, lalu dilayangkannya tinjunya ke cermin.

Cermin itu pecah berkeping-keping. Suaranya keras, tapi seperti tidak mengganggu Randy sedikit pun. Tangan Randy mengeluarkan darah. Tidak ada yang datang tergopoh-gopoh menanyakan ada apa. Tidak ada siapa-siapa. Dia sendirian. Seperti selama ini.

Malam itu Ara gelisah. Dia lelah. Lelah terperangkap di tengah-tengah badai kebencian bernama Randy. Lelah membiarkan dirinya terseret masuk ke dunia kelam yang tidak dikenalnya. Lelah ikut terjatuh, jauh, ke lubang tanpa dasar yang menyesakkannya.

Dia lelah.

Ah. Sungguh cintakah ini?

Tapi mengapa rasanya teramat tak menyenangkan?

SECRET LOVE (edisi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang