6

2 1 0
                                    

************

   Kami diberi kamar terpisah. Dan tiap kamar begitu luas sampai-sampai menyaingi sebuah rumah di ibukota. Tuan Leonhart benar-benar baik. Ia bahkan memberi kamar terbaik dan pengobatan terbaik untuk kami.

   Aku termenung. Mengingat kejadian kemarin. Aku pun melepas sarung tangan hitamku, yang sengaja kugunakan untuk menutupi luka bakar di tangan kiriku dan mendapatinya pulih sempurna.

   Demon. Ras yang membawa kehidupan dan kesembuhan terhadap segala macam penyakit. Bahkan luka bakar di hari itu, yang seharusnya tidak bisa disembuhkan pun lenyap tak berbekas. Seakan tangan ini tidak pernah terbakar sebelumnya.

   Dan tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Fajri. Boleh aku masuk?"

"Rika? Tentu." Kataku, membuka pintu. "Masuklah."

"Terimakasih." Katanya.

   Aku pun duduk di kasur, dengan Rika di sisiku.

   Angin berhembus, menerbangkan rambut Rika yang panjang kecoklatan. Matanya merah. Pasti habis menangis.

"Fajri." Katanya, memandangku. "Maaf ya. Semua salahku..."

"Kau tidak salah!" Kataku. "Justru akulah yang maaf. Kalau aku tidak terpancing, mungkin besok kau tidak harus..."

   Mentari pagi masuk hangatkan kami. Tapi betapa hangatpun, sinarnya tidak akan mampu obati hati kami yang telah mati.

"Fajri, kamu tau?" Kata Rika. "Kamu mirip kakakku"

"Kakakmu?"

Rika. tersenyum. "Kakakku juga Demon. Tapi ia tertangkap saat lindungi aku."

"Kudengar tiap kerajaan, tiap kaum, tiap ras. Semua memburu dan membantai rasmu, tapi." Aku menggigit bibirku. "Tidak kusangka itu benar."

Rika mengangguk, pelan. "Waktu itu aku masih kecil. Dan setelah kehilangan kakak, aku harus hidup sebatang kara..."

"Memang orangtuamu...?"

Rika melihat ke bawah. "Demon lahir dari manusia biasa, dan saat tau anak kembarnya Demon, mereka... membuang kami..."

   Aku terbelalak. Tak menduga jawaban itu.

   Dia sama seperti kami, seperti aku dan Giselle, yang dibuang sejak kecil. Oleh manusia tidak bertanggung jawab yang mengaku orangtua kami.

Rika melanjutkan. "Hari-hariku diliputi ketakutan. Takut aku juga kan diburu seperti kakakku. Karena itu aku keliling dunia, dan cari cara tuk hilangkan kutukan ini."

   Kutukan .... Rika pasti sangat menderita hingga ia menyebutnya begitu....

   Itu benar. Rika bukan hanya dibuang, tapi juga diburu oleh semua orang. Aku masih lebih baik, karena aku punya Giselle. Tapi, Rika harus menanggung semua seorang diri....

   Aku mengepal tanganku, tidak bisa membayangkan betapa beratnya beban yang harus ia tanggung. Dan betapa beratnya penderitaan yang harus ia alami.

"Dan akhirnya," Lanjutnya. "Aku dengar rumor. Tentang Sage's Tower. Tempat penyihir terkuat dan terbijak berkumpul. Mereka pasti tau sesuatu. Mereka harapan terakhirku. Karena itu, aku senaang sekali saat kamu ajak aku."

Ia berhenti dan menatap wajahku. "Terimakasih, Fajri. Meski sebentar. Tapi aku bersyukur." Katanya, senyum.

"Rika..."

"Cuma kamu yang kupercaya..." Lirihnya. "Cuma kamu..."

   Matanya kembali basah, tak mampu membendung air mata yang terus jatuh mengaliri wajahnya. Tetes air membasahi kasur putih ini, memenuhinya dengan titik hitam dan isi hatinya.

"Fajri..." Isaknya. "Apa aku sejahat itu? Seburuk itu? Kenapa mereka membenciku? Kenapa semua orang selalu jahat padaku...?"

   Ia terus mengusap matanya, tapi air mata terus dan terus terjatuh. Tak peduli sekeras apapun ia mengusapnya. Ia terus...jatuh.

"Aku tidak mengerti..." Isaknya. "Kenapa aku...? Kenapa selalu aku???"

   Ia menutup wajahnya dan menjerit. Jeritan yang penuh luka, penuh duka, penuh derita, yang membuat hatiku ikut menjerit, ikut terluka dan ikut menderita dengannya.

   Ksatria macam apa aku?! Temanku bersedih dan aku tidak bisa menolongnya?!

"Tidak semua!!!" Jeritku, memegang bahunya.

Rika mengangkat wajahnya, memandangku.

"Sekalipun seluruh dunia memusuhimu, menyakitimu dan mencoba membunuhmu. Aku akan selalu ada di pihakmu! Di sisimu! Dan terus melindungimu!!! Kau tidak sendiri! Karena kau... MASIH PUNYA AKU!!!"

   Matanya terbelalak, ia menutup mulutnya, menahan tangis. Tapi naas, air mata tetap jatuh membasahi wajah cantiknya.

"Waaa!!!" Ia menjerit memelukku.

   Menumpahkan kesedihan dan isi hatinya padaku. Tangisan yang penuh haru, penuh syukur, penuh kalbu, yang jatuh membasahi kausku dengan sejuta keindahan, dan mengobati hati kami yang telah mati.

"Terimakasih..." Isaknya. "Terimakasih...Fajri."

   Ia mulai tenang. Ia pun melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata berair. Kami saling pandang untuk beberapa waktu. Hingga akhirnya dia mendekat dan...menciumku.

   Aku terbelalak. Terlarut dalam kelembutan dan kehangatan bibir merahnya. Aku tidak tau seorang gadis bisa selembut ini. Aku menutup mata dan meleleh karenanya. Karena sejuta kelembutan dan kehangatan yang ia berikan padaku.

   Tiap detik begitu lambat. Seakan-akan dunia berhenti hanya untuk kami. Ciuman yang hampir abadi itu pun berakhir. Rika menjauhkan tubuhnya dan memandangku. Nafasnya tersengal dan wajahnya merah tak karuan.

"Fajri, aku..." Lirihnya.

   Kami saling pandang. Di matanya hanya ada aku, dan di mataku hanya ada dia. Persetan dengan dunia! Dialah duniaku! Dan akulah dunianya! Tidak ada seorang pun yang berhak mengatakan sebaliknya. Karena bagiku, dia...

   Dia...

"Rika." Kataku, menggenggam tangannya.

   Aku mencurahkan isi hatiku. Semuanya. habis tak bersisa. Hanya sisa ia yang penuh mesra, yang terus memperhatikanku, mendengarkanku, dan tersenyum manis mendengar jawabanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ortus : The Last HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang