31. Kill me

2.1K 213 26
                                    

"Kau adalah hunter?"

Bahkan tanpa Mark jawab aku sudah tahu jawabannya. Karena selama ini kakak dari sahabatku adalah hunter yang satu-satunya bisa membunuhku. Dengan ini aku tahu bahwa dunia ini sangat membenciku.

Tidak pernah ada tempat untukku di dunia ini.

Tidak pernah ada akhir yang bahagia untukku karena aku hanyalah seorang immortal yang sudah ditakdirkan menjadi orang jahat. Wow, aku terdengar seperti seorang yang putus asa.

Aku berusaha berdiri dan bicara.

"Dengar, kau kira aku pernah berharap dilahirkan menjadi seorang immortal! Aku bahkan berharap tidak pernah dilahirkan di dunia ini!" Aku menarik napasku. "Aku bahkan tidak menangis disaat acara pemakaman orang tuaku dan kau kira aku mengharapkan hal itu? Aku tahu aku adalah mahkluk terhina di dunia ini dan tidak cukupkah bagimu untuk hanya mengetahui hal itu?"

Bodoh. Aku tidak seharusnya terlihat menyedihkan di depan pembunuhku. Tapi aku sudah tidak peduli apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya, karena bagiku semuanya akan sama. Selalu buruk.

Aku menarik napasku yang bergetar.

"Dan kau kira aku bahagia dengan kehidupan yang tak berujung ini dan terus menebak-nebak apa yang selanjutnya terjadi? Aku hidup dengan tidak punya perasaan dan dibunuh diusia enam belas tahun oleh cinta pertamaku. Dan kau kira aku senang?" Mark tetap tidak bergeming dan hanya menatapku. Dia sungguh predator yang mematikan.

Aku tertawa. "Oh, aku lupa. Untuk apa aku cerita tentang diriku? Kau bahkan lebih tahu tentang para immortal dibandingkan diriku sendiri." Aku merasa aku tidak dapat berhenti bicara. "Sekarang lihat siapa yang tidak punya perasaan, huh? Seorang pria kekar mengacungkan panahnya ke perempuan yang putus asa? Sungguh?"

"Aku sudah tahu tentang kaum mu yang suka menceritakan cerita sedihnya setiap bertemu para hunter. Dan kau bukan yang pertama," kata Mark. Akhirnya dia berbicara.

"Oh ya. Dan lihat sekarang kau tidak ada bedanya dengan kami yang tidak mempunyai rasa manusiawi." aku menyeringai dan tiba-tiba Mark mencengkram leherku.

"Jangan pernah kau menyamakan diriku dengan dirimu yang hina itu!" Ia melepaskan cengkramannya dan aku berusaha agar tidak jatuh.

Sehina itukah diriku dihadapan dirinya?

Entah mengapa aku merasa sakit hati dan diriku berubah menjadi serpihan-serpihan kecil. Dan aku berusaha menyatukan setiap serpihan itu namun aku serpihan itu terlalu rapuh.

Aku bahkan merasa malu oleh diriku sendiri.

"Kau pikir kau hebat? Ayolah Mark, kau itu hanyalah budak. Apakah tujuan hidupmu hanya membunuh para immortal? Kau tenang dengan hidup seperti itu?"

Rahangnya mengeras. Aku diam.

"Kau pikir aku seperti dirimu? Aku tidak terikat oleh apapun, tidak sepertimu yang tidak mempunyai masa depan. Aku bisa menjadi manusia normal, mempunyai kehidupan normal dan menjadi hunter sekaligus. Aku dan kau jelas berbeda." Mark maju beberapa langkah hingga kami berhadap-hadapan. Aku mendongak dan meninju rahangnya dengan keras.

Dia terkesiap namun hanya sekejap.

"Sungguh? Kau memukulku? Aku bisa membunuhmu, brengsek!"

Aku tersenyum pahit. "Terserah. Lagi pula aku memang sudah menanti-nati akan hal ini."

"Kau kira itu semua hanya tipuan? Jika kau bukan teman adikku mungkin aku sudah membunuhmu sejak dahulu. Tapi aku harus mempelajari dirimu dulu dan mungkin aku bisa mengetahui immortal lainnya berada. Seperti temanmu yang bernama Tyler," ujar Mark dengan licik.

Aku tahu seharusnya aku tidak peduli dengan Tyler, karena dia sendiri yang terlihat mencolok seakan menunjukkan bahwa dirinya seorang immortal. Mungkin Tyler sendiri sudah tahu akan semua resikonya. Ia bahkan yang tahu tentang keberadaan hunter.

Tapi disisi lain aku tidak ingin Tyler tertangkap dan dibunuh oleh hunter karena dirinya sudah banyak membantuku.

Apakah aku harus membela Tyler?

Bagaimana jika Tyler yang berada di posisiku sekarang? Apakah dia rela membantuku atau menyerahkanku begitu saja?

Mungkin dia tidak akan membelaku. Tapi aku merasa harus membelanya tidak peduli apa yang ia lakukan. Karena itulah yang membuatku merasa menjadi manusia. Walaupun aku tidak pantas disebut manusia.

"Jadi kau sudah tahu bahwa Tyler juga seorang immortal?" Tanyaku.

"Kau kira selama ini aku bodoh? Aku hanya menunggu waktu yang tepat Untuk membunuh kalian berdua," ujar Mark. Kukira hunter hanya langsung membunuh para immortal tapi nyatanya mereka lebih rumit dari hanya membunuh.

Aku menegapkan badan dan melangkah mendekatinya. "Kau tahu tentang Factorem? Setidaknya aku harus tentang diriku sebelum kau membunuhku."

"Aku tidak bernegosiasi dengan immortal," kata Mark.

"Aku tidak bernegosiasi denganmu, aku memaksamu untuk memberitahu segala hal yang kau tahu tentang para immortal. Apakah kau kira ini akan menguntungkanku dan merugikanmu?" Aku tidak dari mana aku mendapat keberanian ini tapi aku merasa percaya diri.

"Baiklah." Mark berdeham. "Factorem hanyalah mahkluk hina yang suka membuat percobaan gila. Contohnya adalah kau. Mereka membuat ritual yang mengharuskan ada salah seorang yang berkorban. Para factorem menjadikan immortal sebagai korban mereka. Mereka hidup abadi dengan bahagia sedangkan immortal hidup abadi dengan menyedihkan. Kalian saling bergantung, jika kau mati factorem mu juga mati."

Selama ini aku hidup bergantung dengan factorem? Mengapa Daniel begitu jahat dengan menyerahkanku ke factorem itu?

"Jadi jika aku membunuh salah satu dari kalian maka kalian berdualah yang terbunuh."

"Tidak, itu mustahil! Tapi tadi factorem itu berusaha untuk membunuhku!" Suaraku meninggi.

"Dia hanya memanfaatkanmu untuk membuatmu takut padanya. Karena nyatanya ia juga akan mati jika kau mati."

Mengapa selama ini Tyler tidak memberitahuku akan hal ini? Aku semakin bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Kau tidak harus merasa frustrasi karena pada akhirnya kau hanya mahkluk kotor yang menjadi aib dunia ini. Semua akan lebih baik jika kau mati, Lisa Valerie." Mark mengatakan itu dengan sungguh-sungguh.

Aku memejamkan mataku erat dan mengepalkan tinju. Aku kesal, muak, dan lelah dengan semua ini. Hunter, factorem dan semua itu sama saja!

Aku membuka mataku dan menatap Mark dengan mantap.

"Baiklah. Ayo kita akhiri semua ini. Kita uji keahlianmu." Tekadku sudah bulat dan aku ingin ini berakhir.

"Bunuh aku."





***
Feel free to vote and comment fellows.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang