Langkah kaki pemuda bersurai pirang itu berhenti di kedai yang menjadi langganannya setiap pagi. Entah apa yang Naruto pikirkan, tanpa pulang terlebih dahulu ke flat miliknya—setelah keluar dari rumah Menma—ia malah berhenti di kedai milik sepasang suami-istri—Asuma dan Kurenai.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang memandangnya bingung sekaligus prihatin, Naruto melangkah masuk ke kedai dengan langkah perlahan. "Kurenai-san." Naruto menghampiri Kurenai yang tampak sedang mencatat sesuatu di belakang meja kasir.
"N—Naruto?" wanita cantik beririskan rubby itu terbelalak—kaget dan bingung melihat sesosok pemuda pirang di hadapannya yang nampak berbeda dari penampilannya. "Ada apa denganmu?" Kurenai berdiri dari duduknya. "Kau—"
"Kurenai-san, tolong seperti biasa , ya." Naruto—memaksakan—tersenyum. "Dan aku rasa, aku membutuhkan segelas cokelat panas buatanmu yang lezat itu." Naruto menunjuk satu sisi tempat duduk di pojokan kedai yang menghadap jendela. "Tolong antarkan, aku menunggu di sana, ya, Kurenai-san?"
Tanpa menunggu lama, Naruto melangkahkan kakinya menuju satu spot favoritnya di tempat ini. Mendudukkan dirinya dengan hati-hati, lalu bersandar pada kursi. Sesekali Naruto menggigit bibirnya lalu menghela nafas—salah satu kebiasaannya jika ia sedang gugup atau merasa tak nyaman.
Naruto mengambil ponselnya di saku celana—milik Menma—yang dipakainya. Melihat angka yang menunjukan bahwa kini pukul setengah sembilan. Pantas di sini mulai cukup sepi. Menjelang siang, kedai milik Asuma dan Kurenai ini memang tidak akan seramai pagi hari—di mana waktu orang-orang sarapan. Akan kembali ramai ketika jam menunjukan makan siang.
Sasuke, sudah bangun kah?
Naruto menggigit bibir bawahnya, menatap ponselnya ragu—mengirim pesan pada Sasuke atau tidak. Beberapa detik kemudian, pemuda berparas ayu ini menggeleng, membuang pikirannya untuk menghubungi—mantan—kekasihnya.
"Aku rasa kau sedang ada masalah, betul kan, Naruto-kun?" Naruto tersentak. Dengan refleks pemuda pirang ini menatap Kurenai yang berdiri di sampingnya. Wanita cantik bersurai hitam itu menaruh nampan di meja Naruto. "Mau berbagi denganku?"
Mata sapphire jernih milik Naruto memperhatikan gerakan Kurenai yang kini mengambil posisi duduk berhadapan dengannya. Naruto terdiam. Matanya beralih pada nampan dengan makanan di atas meja. "Aku tidak pesan ini, Kurenai-san."
"Cokelat panas sesuai pesananmu," Kurenai berujar dengan nada lembut. "Aku pikir brownies juga dapat sedikit menghilangkan stress. Cokelat baik untuk menenangkan pikiran, Naruto-kun."
Naruto menatap Kurenai lirih, "Kau—terlalu baik padaku, Kurenai-san." Lagi-lagi, memaksakan tersenyum. "Aku baik-baik saja."
"Aku telah hidup lebih lama darimu, Naruto-kun." Kurenai bertopang dagu. "Matamu tidak dapat berbohong—dan tentu saja penampilanmu." Naruto tersentak melihat pandangan mata Kurenai. "Pakaianmu benar-benar menarik perhatian—yah, baju kebesaran yang kau kenakan ini."
Naruto meneguk liurnya gugup. Yah, Naruto telah mengundang perhatian dengan mengenakan pakaian Menma yang kebesaran. "Ku-Kurenai-san, ini tidak—"
"Dengan kekasihmu kah?" tubuh Naruto menegang saat Kurenai memotong ucapannya. "Ada masalah dengan kekasihmu, Naruto-kun?" Ya, Kurenai memang tahu jika Naruto memiliki kekasih, itulah alasannya mengapa ia menjadi langganan di kedai Kurenai. Dan lagi, wanita cantik itu tahu jika kekasih—tepatnya mantan kekasih—Naruto adalah seorang pria. Toh, Kurenai tidak mempermasalahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love
FanfictionBagi Sasuke, cinta Naruto untuknya, juga mungkin perasaannya untuk Naruto adalah sebuah kesalahan. Bagi Naruto, jika Sasuke menginginkannya pergi, maka itulah yang akan ia lakukan.