10 - 7 = 3

85 9 2
                                    

Lo pasti pernah libur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lo pasti pernah libur. Entah itu libur sekolah atau libur kerja sekalipun. Kalau lo bener-bener paham, berarti lo udah bisa tau kalau sebenarnya hari libur itu adalah waktu untuk menggemukkan badan. Dan gue percaya itu. Tapi, sayangnya itu nggak terjadi di diri gue. Gue nggak nambah gemuk, bobot gue nggak naik. Cuma ... kayaknya kependekan gue bertambah.

Kenapa?

Nggak tau juga gue.

Gue punya pengalaman, kejadiannya udah setahun yang lalu, waktu gue baru menyelesaikan liburan kenaikan kelas sebelas. Pagi itu adalah harinya, hari Senin, dimana temen-temen seangkatan gue memulai jenjang baru untuk naik ke kelas sebelas.

Pembukaan sekolah di hari pertama, selalu diawali dengan pemandangan calon-calon murid baru yang udah siap diubek-ubek sama anak OSIS di kegiatan PLS. Saat itu masih pukul 06:00, dan dengan begonya gue udah berangkat ke sekolah. Sebenernya nggak masalah juga, sih, kalau misalkan rumah gue jauh, tapi rumah gue itu, asal lo tau, jalan ngesot buat ke sekolah aja tetep bakalan nyampe dalam waktu kurang lima menit. Alhasil, dari rumah, gue mulai jalan pukul 06:00, sampe sekolah pukul 06:03, dan cuma menghabiskan tiga menit. Emejing!

Gue bakal menceritakan gimana nggak berdayanya gue saat ke sekolah tanpa temen-temen seangkatan. Sekolah masih sepi, ya agak ramean dikit, lah, soalnya ada calon siswa baru yang lagi ngumpul apel pagi, udah lengkap pakai seragam putih abu-abu. Mereka emang diwajibin buat datang dari pukul 05:30.

Saat gue mau jalan ke kelas, Pak Samir--pembina OSIS--teriak ke arah gue, "Hey, mau ke mana kamu? Sini, sini!"

Gue langsung nengok, anak-anak peserta MPLS yang lagi apel pun langsung nengok juga ke arah gue. Sepertinya, gue ini adalah seorang artis cantik yang jadi bintang tamu mendadak.

Pak Samir menghampiri gue. "Mabok, ya, kamu? Lihat temen-temen kamu, udah baris rapi-rapi, kamu malah telat!"

Dengan terbata-bata, gue pun menjawab, "Lho, Pak, saya kan--"

"Kalau ada salah satu peserta MPLS yang salah, berarti semuanya kena hukum." Pak Samir lagi-lagi menggertak.

"Ta-tapi saya itu--"

"Emangnya tadi kamu mau ke mana, Wahai Siswa Baru?" Pak Amir menunjuk-nunjuk arah tujuan gue yang tadi sempat doi lihat.

"Saya ini mau ke kelas, Pak," jawab gue dengan yakin.

"Ke kelas, ke kelas! Kamu belum punya kelas, kamu itu--"

"Saya kelas sebelas, Pak," potong gue cepat-cepat. "Masa Bapak nggak tau saya, sih?"

"Saya nggak pernah lihat kamu."

"Allahuakbar." Gue menepuk jidat berkali-kali. Waktu itu, gue bener-bener butuh pertolongan. "Pak, ini saya atas nama Alika."

Gue stres mendadak. Ini tuh, kasusnya sama aja kayak misalkan lo habis pergi dari mana gitu, terus pulang ke rumah. Dan tiba-tiba, bokap lo teriak-teriak, "Siapa kamu? Kamu mau ke mana?"

Lo jawab, "Aku anak Papa, Pa. Aku mau masuk ke dalem rumah, lah."

"Kamu bukan anakku, ini bukan rumah kamu," balas bokap lo sesinis mungkin.

"Aku anak Papa!"

Kemudian, bokap lo ngelus-ngelus jenggot sambil berpikir manja. "Hemm ... mungkin kamu anak tetangga."

Agak sama kan, modelnya?

Nah, kejadian di atas bersama si Papa itu adalah pengalaman gue juga, omong-omong.

Dan gue pun berasumsi bahwa libur emang malah membuat gue jadi tambah kerdil, makanya Pak Samir menganggap gue sebagai calon anak kelas sepuluh yang masih pada imoet-imoet. Pak Samir lupa sama gue. Gue, anak muridnya yang nggak dianggap.

Lo tau setelah itu apa yang terjadi? Pak Samir masih nggak mau nyerah, dia masih mempertahankan pendapatnya.

"Pak, Pak!" Seseorang datang menghampiri gue dan Pak Samir. Cowok, pake jas OSIS, aduh jadi ngiler gue.

"Ya?" Pak Samir menoleh.

"Ini Alika, Pak, temen sekelas saya waktu kelas sepuluh." Cowok itu nyengir kuda. Dia ngebelain gue, Ya Tuhan!

Lo harus tau, cowok bertubuh tegap itu namanya Aldi. Iya, emang, dia temen kelas gue waktu kelas sepuluh, tapi berpisah saat itu juga karena seluruh kelas dirombak. Posisi Aldi kayaknya langsung tergantikan dengan Faisal yang waktu itu jadi temen kelas baru. Mereka berdua, sama-sama pernah ngebuat gue ser-ser, sama-sama pernah ngebuat gue hampir mabok setiap hari. Tapi, Aldi ganteng, lebih dari Faisal, lebih pula dari Cosup.

Gue terpana asmara, dan itu semua karena Aldi. Karena keberanian dia yang udah ngebelain bidadari imoet macem gue.

Pada saat itu, Pak Amir langsung pergi gitu aja. Ninggalin gue dan Aldi, tanpa protes banyak-banyak. Mungkin dia malu, mungkin dia merasa nggak berdaya.

"Eh, Lik, maafin si Samir." Aldi tersenyum samar sambil tangannya menggulung lengan jas OSIS-nya yang agak kegedean.

"Makasih, Di," ucap gue terpesona sambil mengulum senyum yang menurut gue manis banget.

Gila, gila, gue kayak bidadari beneran nggak, sih, waktu itu?

"Ya udah, sana gih!" pinta Aldi.

"O-okeee ...." Gue balik badan, melanjutkan perjalanan istimewa untuk menuju ke kelas tercinta.

Lo perlu tau, waktu itu dengan cepatnya Aldi berujar, "Hati-hati, Lik!"

Dan saar itu, gue sempat menduga-duga bahwa di hari-hari selanjutnya sesuatu akan terjadi antara gue sama Aldi--yang ternyata, beneran kejadian.

Jadinya kan, gue nggak sabar sama hari esok.

***

Beuh, update-nya subuh-subuh. Mantep banget nggak tuh gue?
*biasaajasih.

Kayak ada yang baca aja. 😣

Hari Libur dan AlikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang