03

3.3K 340 25
                                    

"Namaku Jasmine Berryland. Maaf, sudah seminggu kami pindah, namun belum menyempatkan diri untuk berkunjung."

Aku bersama Berryland memutuskan untuk pergi ke rumahku karena dengan bodohnya, aku meninggalkan keranjang kue yang dibuatkan Ibu untuk keluarga Berryland. Gadis itu menawarkan diri untuk ikut ke rumahku. Aku tak punya alasan yang tepat untuk melarangnya, jadi di sinilah ia sekarang. Toh, ibu juga sempat memintaku untuk menawarinya berkunjung. 

"Oh, Nona Berryland, jangan sungkan. West sudah seperti saudara kami sendiri, jadi anggaplah ini adalah rumah keluargamu juga, ya? Vincentio sangat jarang pulang, rumah menjadi sangat sepi. Kau bisa datang kapan pun yang kau mau, ok?" sambut ibu dengan ramah. Terlalu ramah, malah.

Gadis Berryland itu tersenyum aneh dan mengerjapkan matanya beberapa kali pada Ibu lalu dengan ragu melihatku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman lebar dan menggeleng.

"Tunggu. Kau tidak mengingatku?" protes ibu sambil menempuk dadanya sendiri. 

"Dulu saat kau kecil, kau pernah tinggal di lingkungan ini dan sakit-sakitan, bukan? Kau merengek minta dibawa ke gereja?" ucapku berusaha tetap ramah dan biasa saja.

"Oh, astaga! Dokter Serena? Apa Anda benar dokter Serena??" Sontak gadis itu dengan mata berbinar dan jemarinya yang sudah kuobati, menutupi bibir pink pucatnya. Ketika ibu mengangguk, dan membuka kedua tangannya, Berryland segera berhambur memeluknya. Dua wanita itu dengan histeris berpelukan dan berkoak-koak ramai seperti ingin meruntuhkan seisi rumah.

"Kalau ingatanku benar,itu berarti kau adalah ... Vincentio Bianche, benar?" 

Suara Berryland di balik punggungku saat aku meninggalkan mereka di ruang tengah untuk bernostalgia. Aku membalikkan badan dan memasang senyum lembut saat ia menatapku dengan pandangan aneh. 

"Ayahku terlalu terburu-buru pergi sebelum memberitahuku tentang siapa yang menjadi tetangga kami. Aku sangat senang bisa bertemu kalian lagi," ucapnya masih bersemangat.

Melihat gadis itu dengan berjarak hanya semeter dariku, membuatku sadar betapa... lugu? Apa yang bisa menggambarkan wajah itu? Seakan gadis ini tak berniat menyentuh manisnya dosa seperti yang dilakukan gadis-gadis seusianya.

Ya, mata itu sangat jujur, membuatku entah bagaimana merasa nyaman, dan jelas, aku bisa mengintip isi matanya yang terlalu polos tanpa pertahanan itu. Ketertarikan dan.. ketakutan yang bercampur jadi satu diantara sorot matanya. 

"aku ... pangling. Maksudku ... lihatlah, kau sangat tinggi, dan ... sangat ...."

Aku bersedekap, masih memasang senyum dan mengangkat kedua alisku.

"Sangat ,..?"

"Berbeda," jawab Berryland berhasil menahan kata apa pun yang akan membuat dirinya malu. "Maksudku dalam hal baik, tentunya," tambahnya terburu-buru sebelum aku selesai menginterpretasikan ucapannya.

"Kau juga, Nona. Berryland."

"Ah, kau boleh memanggilku dengan panggilanmu yang sebelumnya."

Terkutuklah situasi ini. Aku lupa dulu memanggilnya dengan panggilan apa. Bahkan ragu aku pernah bercakap-cakap dengan Berryland waktu kami masih kecil.

"Dan itu adalah ...." Aku menatap wajahnya, mencari clue jawaban yang mungkin saja tercetak di matanya itu. Oh, bukan di mata. Jawabannya ada di sela bibirnya. Di sela bibirnya yang terbuka, dua gigi depannya selalu terlihat lebih dulu, membuatnya terlihat seperti seekor ... "Bunny," jawabku yang malah terdengar seperti pertanyaan.

Merona, lalu mengangguk. Gadis itu membuka matanya dan tersenyum terlalu lebar.

Oh, Tuhan. Wajah itu lagi.

The Blackish White (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang