15- The End

3.2K 300 65
                                    

Entah aku datang di waktu yang tepat atau apa. Aku menghubungi Vin dan anehnya ia tak menjawab panggilanku. Ia mengangkatnya. Tapi tak terdengar apa pun selain suara tangis. Seperti suara anak laki-laki. Jadi aku meninggalkan semua pekerjaanku di Milan, dan mengendarai helikopterku sendiri kembali ke Piacenza.

Sepanjang perjalanan, bau busuk menyeruak di udara Italia utara. Dan aku tahu ini akan ada hubungannya dengan Vincentio.

Aku melihat Vincentio yang seperti itu lagi. Di tempat yang sama seperti pertama kali aku melihat sosok lain dari Vincentio saat kami masih berusia sepuluh.

Aku masih tinggal di Piacenza saat itu. Vincentio terlihat aneh di sekolah. Ia sering melamun dan kadang pandangan matanya kosong. Saat aku berinisiatif ke rumahnya, aku baru tahu, rumah kosong di sebelah rumah Vin kini berpenghuni. Keluarga dari Britania Raya, yang memiliki seorang anak gadis gemuk yang sakit-sakitan.

Saat itu tak ada siapa pun di rumah Vincentio. Orang tuanya seperti biasa, sibuk bekerja. Kami bermain video game di ruang tengah, sampai Vin meminta izin untuk ke toilet. Dan dia tak kembali lebih dari lima belas menit. Saat aku mencarinya, pintu belakang rumah terbuka. Ada jejak kaki yang kupikir Vincentio menuju hutan kecil di belakang rumah.

Lalu saat itu pertama kali aku melihatnya.

Iya, aku yakin aku benar-benar melihatnya. Sesuatu di punggung Vincentio, terlihat seperti sayap hitam. Aku menemukan Vincentio di hutan kecil ini, ia membisik-bisikkan kalimat yang sama berulang-ulang.

"Novit enim. Dominus qui sunt eius.

Kalau tidak salah, kurang lebih seperti itu.

Bau busuk yang biasanya kucium saat ada sesuatu tak kasat mata di dekatku, menguar dari tubuh Vincentio. Ia terlihat sangat berbeda. Aku tahu, Vincentio seperti sedang kesurupan. Ia terlihat sangat marah, dan berjalan memasuki sebuah chapel kecil yang terbengkalai dan sudah dalam keadaan bobrok dalam hutan. Sesuatu mulai bergerak dalam chapel itu. Makhluk-makhluk hitam, ringkih, meronta-ronta, menghampiri Vincentio. Vincentio membuka mulutnya. Sangat lebar, lalu makhluk-makhluk hitam itu tersedot dalam mulut Vin. Tubuh Vincentio kejang setelahnya, tubuhnya keluar bercak-bercak hitam, dan parahnya, ia menoleh padaku dengan gerakan kepala sangat tak wajar. Tangannya meraihku, membisikkan sesuatu yang aku tak memahaminya.

Jika aku tak membawa pistol dan menembaknya waktu itu ... entah apa yang akan ia lakukan padaku dan chapel itu. Dan ketika instingku membawaku ke tempat yang sama, aku menemukannya lagi persis seperti saat itu.Ia mengamuk, chapel itu sudah hancur, bahkan bangku-bangku jemaat berserakan seperti baru saja di serang anging puting beliung. Untung saja Gadis Wales itu baik-baik saja.

Polisi yang kupanggil sebelum aku sampai ke Piacenza, belum sampai saat aku berada di sana. Mereka baru datang beberapa saat setelah aku menembak kaki Vincentio. Aku melarang Gadis Wales itu untuk memberikan perawatan pertama pada luka di kaki Vincentio karena tembakanku.

Ini sangat persis dengan kejadian saat itu, tubuh Vincentio menghitam dengan bercak-bercak. Terutama di ujung jemarinya. Kukunya akan menghitam sepenuhnya. Dan saat aku membiarkan darah berbau busuk dari tubuh Vin terus mengalir keluar, bercak hitam itu akan menghilang.

Vin memasukkan mereka, makhluk-makhluk tak kasat mata itu, dalam tubuhnya. Dan menjadi bagian dari dirinya. Aku harus membunuh Vin berulang-ulang untuk menyelamatkan Vin dari hobi buruknya itu. Mereka yang menjadi darah Vin harus dikeluarkan agar ia tetap hidup seperti manusia normal lainnya. Beberapa orang yang berada di chapel secara misterius, secara misterius hampir semua selamat dari kekacauan itu. Hanya seorang wanita bungkuk dengan rambut hitam ikal yang tergeletak di depan altar dengan tubuh hancur seperti tercabik beberapa hewan buas.

Gadis Wales itu tak bisa menjelaskan apa pun dengan jelas di kantor polisi. Dan setelah melalui banyak tes, seperti tes kebohongan, tes psikologi, dinyatakan bahwa gadis itu tak bersalah. Dia juga korban. Dan kasus itu dinyatakan sebagai kasus luar biasa, kesurupan massal.

Ya, aneh memang. Tapi di beberapa titik daerah lainnya juga mengalami hal yang sama. Beberapa orang berada di gereja kecil dalam hutan dan bahkan tak tahu bagaimana bisa berada di sana.

Tapi sejak malam itu, tak ada kejadian aneh lagi.

Vincentio siuman di rumah sakit esoknya. Seperti biasa, si Pangeran Disney ini dikelilingi oleh banyak gadis. Ia mendapat pelukan dari seorang gadis dengan pantat seksi, berrambut merah yang menungguinya selama ia tidur. Juga kakak perempuan gadis itu yang tinggi, berambut hitam dengan wajah yang ... tidak asing.

Siapa mereka? Aku akan mencari tahu nanti.

Bagaimana dengan Gadis Wales itu? Semalam, setelah aku bekerja, aku bermaksud menjenguk Vin. Aku melihatnya mengintip di luar kamar rawat Vin. Dari dalam kamar aku mendengar suara gadis-gadis itu membicarakan Vin. Si Gadis Wales tak punya keberanian untuk masuk dalam ruangan yang sama dengan para rival yang jelas memiliki banyak kelebihan dibandingkan dirinya. Terutama secara visual.

Akhirnya akulah yang ia temui di sana.

Awalnya, ia tampak takut padaku tapi setelah aku mencoba sedikit bersikap ramah padanya, ia mulai tersenyum dan membuka diri. Kupikir pertanyaan yang akan ia lontarkan padaku adalah seputar bagaimana Vin atau kenapa aku menembak pria yang ia sukai itu. Tapi aku salah.

"Kau tidak takut pada apapun, Zeus?" tanyanya.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Mereka membau ketakutan, dan mereka akan menguasaimu melaluinya. Tapi mereka sama sekali tak menyentuhmu."

Mereka, sosok-sosok berbau busuk itu.

Aku memilih tak menjawab, dan mencari ketakutan di kepalaku. Memang tak ada yang kutakuti. Aku menembak manusia sejak kecil. Aku bisa membau jiwa busuk mereka. Aku bisa membau darah mereka. Tapi tak ada yang kutakuti. Aku lebih kuat dari dunia ini.

"Syukurlah, Vincentio memilikimu. Kuharap kau akan terus menjaganya, Zeus," ucapnya sebelum ia pergi.

Setelah kuselidiki, Jasmine kembali ke kampung halamannya di kota kecil di Wales. Ayahnya yang tak lain merupakan salah satu korban insiden chapel di tengah hutan itu, berhenti menjadi seorang jurnalis dan memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan percetakan.

"Zeus, kau datang," sambut Vincentio ketika aku masuk kamarnya.

"Siapa mereka?"

"Dua orang gadis yang barusan keluar dari kamarku?"

"Siapa lagi?"

"Mereka Bianca dan Simca. Teman baikku."

"Kau menyukai salah satu dari mereka."

"Ya dulu. Sekarang aku punya pacar," kata Vincentio dengan nada riangnya seperti tak pernah ada masalah apa pun. "Aku bertanya-tanya kemana Jasmine pergi. Dia tak menjengukku sama sekali."

"Dia kembali ke Britania Raya."

"Apa?" Vin terlihat sangat terkejut dan memandangku tak terima. Padahal bukan aku yang mengirimnya pulang ke sana. "Sial, aku akan terbang ke sana sebelum kembali ke Australia."

"Kakimu baik-baik saja?"

"Ah, ya. Terima kasih kau sudah menolongku lagi, Zeus."

"Berhenti membiarkan mereka memasukimu dan mengurung mereka dalam tubuhmu. Kalau aku terlambat datang, kau akan membunuh gadis itu. Kau tahu itu berbahaya."

"Tapi kau datang." Ia tersenyum dengan entengnya, seperti biasa. Senyuman menakutkan dan ia menutup matanya. "Kau akan selalu datang."

Aku tak pernah suka melihat senyum Vincentio saat ia menutup matanya. Karena ketika ia membuka mata kembali, terkadang aku tak melihat mata yang benar-benar miliknya. Mata yang seperti menghantuiku. Ah, aku sadar. Aku punya ketakutan, Jasmine. Dan Vincentio tahu itu.

Mata Vin putih, sedikit kehitam-hitaman. Bukan abu-abu, Vin sama sekali tidak abu-abu. Dia putih, putih kehitam-hitaman dalam dirinya.

_______________________________________
Tamat

The Almighty Nggantung Ending, LOL 😂

The Blackish White (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang