08

2.1K 251 10
                                    

Dia memelukku lagi. Tangannya yang besar mengusap-usap punggungku dengan lembut, begitu nyaman.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Maaf." Kuatkan dirimu, Jasmine. Kau memutuskan untuk bercerita bukan hanya untuk menangis dan sekali lagi menjadi beban dan tidak berguna. "Akan kulanjutkan."

"Kau tak harus memaksakan dirimu--"

"Pastur itu ...," Aku menyelanya. Aku harus. Ini sudah setengah jalan, kalau aku ragu-ragu, mungkin aku takkan mempunyai kesempatan untuk menceritakannya, "... aku menutup mataku erat, tak berani melihat sosok pastur yang mengamatiku dari balik gelapnya kamar itu."

"Apa dia menyakitimu?"

Aku menggeleng. 

"Tidak, aku terus menutup mataku hingga tertidur dan bangun tengah malam. Tapi sosok itu sudah tidak ada di sana."

"Coba ku tebak, kau keluar kamar dan bermaksud pergi ke kamar orang tuamu karena tak berani tidur sendiri."

"Tidak. Karena ada seorang pria yang menghadang pintu kamarku. Aku tidak bergerak dari ranjang. Memeluk bantalku. Aku ingat bagaimana rasa takut yang ia berikan padaku melalui senyuman menakutkannya. Seorang pria bermata biru, berkulit pucat, berambut pirang terang agak panjang dan bergelombang."

"Pria yang sama dengan yang kauajak bicara di rooftop tadi?"

"Ya, pria itu." Aku mengangguk menatap iris mata kehijauan gelap, yang dulu kupikir hitam, milik Vin yang terus tertuju padaku.

"Apa yang ia lakukan saat itu? Apa dia memintamu untuk melakukan sesuatu?" tanyanya tak sabar.

"Aku ... saat itu kami diam saling memandang untuk beberapa saat. Kemudian ia menghilang. Besoknya ayah bilang ibu tidak bisa pulang karena badai salju di Paris. Jadi ia harus menyelesaikan beberapa urusan dan pulang lebih lambat dari jadwal yang seharusnya. Dan saat aku menceritakan apa yang kualami semalam, ayah bilang aku hanya bermimpi buruk, karena di belakang rumah kami sama sekali tidak ada hutan cemara. Dan itu benar. Di belakang rumahku adalah lapangan kecil yang penuh salju.

"Suatu malam kemudian, pria itu kembali muncul di hadapanku. Ia bertanya kenapa aku selalu menatap matanya saat ia datang mengunjungiku. Matanya yang biru itu sangat indah, Vin. Dia terlihat seperti The Little Prince dalam bayanganku. Kau tahu, karya Antoine de Saint-Exupéry ... itukah namanya? Aku sangat tertarik pada karya sastra dan folklore sejak aku kecil, jadi ayah memberikan buku yang terkenal di Prancis itu untuk menemaniku saat aku merasa sendirian. Melihat pria yang seperti pangeran itu, tak ayal membuatku merasakan jatuh cinta padanya."

"Ehem, hanya mengingatkan, karena aku ragu kau mengingatnya. Saat kau sakit dan dirawat oleh ibuku, kau pernah mengajakku menikah sebelum kau pergi dari Italia. Kau selingkuh dariku, Bunny. Bahkan kau masih sepuluh tahun saat kau melakukan perselingkuhan pertamamu."

Dan waw ... aku tak tahu harus bicara apa. Ia menatapku dengan senyumannya yang khas itu, dan menutup matanya untuk beberapa detik sebelum menatapku serius.

"Kau tidak berpikir aku melupakan janji itu, 'kan?"

Oh, tiba-tiba sosok wanita itu, wanita cantik berambut hitam legam dan tinggi, terlihat lebih tua daripada Vincentio itu, muncul di pikiranku.

"Kau juga melupakan janji itu, Vin. Aku tahu kau pernah dekat dengan wanita bernama Bianca atau siapa itu."

Vincentio menyodokkan lidahnya ke dinding pipi dalam mulutnya. "Kau memata-mataiku, Bunny?"

"Aku--!" 

Ya ... aku pernah mencari akun media sosial Vincentio atau apa pun yang bisa memberiku kepuasan akan rasa keingintahuanku tentang pria ini sejak kami berpisah begitu ayah membelikanku smartphone. Dan ya, aku memata-matainya. Jadi apa yang harus kukatakan padanya sekarang?

The Blackish White (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang