01

7.7K 567 110
                                    

Senyum.

Mereka bilang senyum adalah obat paling baik, atau makeup paling manjur membuat seseorang menjadi lebih menark. Sesuatu yang bisa kita berikan pada orang lain tanpa kehilangan apa pun.

Senyum.

Sebuah gerakan kecil yang akan berdampak besar bagi orang-orang di sekitarmu. Dengan kau tersenyum, orang-orang takkan tahu bagaimana isi hatimu yang sebenarnya. Marah, sedih, kesepian, resah, bahkan takut. Tersenyumlah. Dan kau akan berhasil menyembunyikan dirimu tanpa banyak bergerak.

Tapi dengan satu syarat.

Tutup matamu.

Karena dari kontak mata, orang bisa mengintip sesuatu di dalam dirimu, menyeruak masuk tanpa izin. Lebih buruknya, mereka akan melabelimu sebagai pembohong, bermuka dua atau orang aneh tanpa di balik punggungmu. Mereka juga bisa saja akan membuat-buat cerita mengenai apa yang mereka temukan di balik matamu pada orang lain, baik atau buruk, benar atau salah. Sebagai hasilnya, kau akan dinilai oleh seluruh mata yang dapat menatapmu.

Karena itu aku selalu tersenyum. Senyuman yang selalu dipercaya karena aku telah melakukannya sejak dulu. Dan karena itu juga, aku tak pernah membiarkan mereka menatap mataku terlalu lama.

Karena aku sedang ketakutan.

Dan aku tak ingin menjelaskan apa alasan ketakutanku pada semua orang.

Karena jika aku menceritakannya, dia akan menyadari bahwa aku melihatnya.

Jika permpuan itu menyadari, aku bisa melihat bibirnya yang sobek hingga pangkal telinganya yang kering oleh darah itu, dia akan mendekatiku, memintaku untuk membuat permintaan-permintaan yang tidak bisa kulakukan.

"Vincentio?"

Aku menolehkan pandanganku dari pohon besar di mana wanita itu sedang beristirahat. Kututup sedikit mataku dan tersenyum pada pria yang baru saja memanggilku.

"Hm?" Jawabku sekenanya.

"Aku akan menjemput Miriam. Kau ikut?" Mata biru Zeus, sahabat karibku, menatapku lekat sembari menaikkan sebelah alisnya.

Seakan menyadari sesuatu, Zeus mengeembuskan napas panjang, menatapku, lalu menatap pohon di mana wanita itu masih melotot ke arah kami, bola matanya hampir keluar, bibirnya masih tersenyum terlalu lebar di wajahnya yang sudah hancur lebur itu.

"Jangan pulang sendirian, Vin. Kau ikut denganku."

"Aku baik-baik saja, Zeus." 

Kueratkan tanganku, suara si wanita mulai berbisik, kurasa ia mendatangiku. Begitu aku sadar, tangan Zeus dengan kasar sudah mendorong punggungku, memaksaku memasuki mobilnya.

Zeus, bukan mahasiswa biasa sepertiku. Dia sangat sempurna seperti tokoh utama di novel romantis. Sosoknya adalah eksistensi dari imajinasi terliar para wanita. Sedangkan aku? Oh, aku hanyalah tokoh pendamping tokoh utama, kawannya sejak kecil yang biasa saja, mahasiswa biasa yang sedang pulang ke kampung halamanku di Piacenza saat libur musim panas di kampusku yang terletak di Negeri Koala. Tidak ada yang mencolok. Sedangkan dia, Zeus, dia tak repot-repot pergi ke kampus, apalagi untuk mengejar beasiswa sepertiku. Zeus adalah seorang tuan muda dari keluarga kaya raya dan dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Sempurna, sudahkah aku menyebutnya begitu?

Kecuali ... nasib buruk yang harus ditanggung pria ini sejak ia lahir.

Zeus adalah seorang anak mafia Italia berdarah dingin. Dia tak pernah tersenyum. Jika aku menyembunyikan diriku dengan senyuman baik-baik saja, Zeus selalu mengerutkan bibirnya dan memilih untuk tidak menunjukkan apa pun di wajahnya itu. Selalu bersikap dingin, menyebalkan, membuatnya dijauhi banyak orang, kecuali beberapa wanita masokis yang suka menyiksa dirinya sendiri dengan mendengarkan ucapan tajam yang dikeluarkan Zeus dari mulutnya.

The Blackish White (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang